Dalam hidup manusia, ada amalan-amalan lahiriah yang tampak sederhana namun memuat kedalaman makna yang luar biasa. Ia tidak hanya menyentuh aspek fisik, tapi menembus ruang-ruang batin yang paling hakiki. Salah satu amalan tersebut adalah khitan—sebuah praktik yang diwariskan dari generasi ke generasi, yang meskipun tampak sebagai tindakan medis semata, sejatinya adalah simbol dari kesucian, ketaatan, dan keterhubungan manusia dengan Tuhannya.
Khitan tidak berdiri sendiri dalam sejarah syariat. Ia bukan hanya budaya atau kebiasaan turun-temurun. Dalam Islam, khitan adalah bagian dari fitrah, yakni keadaan alami manusia yang ditetapkan Allah sejak penciptaannya. Maka, ketika seorang anak laki-laki dikhitan, sesungguhnya ia sedang menjalani sunnah para nabi. Ia sedang menyusuri jejak Ibrahim AS, sang kekasih Allah, yang memulai khitan bukan dalam usia muda, melainkan saat dirinya telah lanjut usia—sebuah peristiwa yang mengajarkan bahwa ketaatan tidak mengenal waktu dan usia.
Lebih dari itu, khitan merupakan bagian dari proses penyucian diri. Ia menjadi pertanda bahwa seorang Muslim bersedia menundukkan dirinya kepada aturan Allah SWT, bahkan dalam perkara yang paling pribadi dan jasmani. Dalam dunia yang semakin menjauh dari nilai-nilai spiritual dan mengedepankan kenyamanan semata, khitan hadir sebagai pengingat bahwa keimanan selalu menuntut pengorbanan.
Lalu, bagaimana sejarah khitan bermula? Apa saja makna yang tersembunyi di balik praktik ini? Dan bagaimana umat Nabi Muhammad ﷺ melestarikan ajaran yang satu ini dalam konteks kehidupan modern? Mari kita telusuri bersama—dari Ibrahim AS hingga umat akhir zaman.
Khitan dan Fitrah Manusia
Dalam sebuah hadits sahih, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Lima perkara termasuk fitrah: khitan, mencukur rambut kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan memotong kumis.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fitrah adalah bawaan dasar manusia yang selaras dengan nilai-nilai suci Islam. Khitan termasuk di dalamnya, menunjukkan bahwa tindakan ini bukan sekadar tradisi, tapi bagian dari penyucian diri yang mendalam. Ia memelihara kebersihan, menjaga kesehatan, dan menegaskan komitmen manusia terhadap perintah Allah SWT yang bersemayam dalam fitrah.
Ibrahim AS: Bapak Monoteisme dan Pelopor Khitan
Nabi Ibrahim AS adalah sosok agung yang dikenal sebagai Khalilullah (kekasih Allah). Beliau tidak hanya diuji dengan pengorbanan anaknya, Ismail AS, tetapi juga dengan dirinya sendiri. Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Nabi Ibrahim melakukan khitan ketika berumur delapan puluh tahun dengan kapak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebuah gambaran yang luar biasa: seorang nabi, di usia senja, mematuhi perintah Allah dengan melakukan khitan—sendiri, dengan alat seadanya. Ini bukan hanya tindakan medis, tetapi manifestasi dari ketaatan mutlak. Ibrahim AS menjadi simbol bahwa syariat tidak boleh tunduk pada kenyamanan, tetapi pada ketaatan dan ketundukan total kepada Allah.
Khitan Sebagai Simbol Keberpihakan pada Tauhid
Dalam sejarah, khitan telah menjadi pembeda antara para pengikut agama tauhid dan mereka yang menyimpang. Ia menjadi tanda kesucian lahir dan batin. Maka tak heran jika khitan kemudian diwariskan sebagai sunnah fitrah dalam syariat Nabi Muhammad ﷺ.
Khitan dalam Syariat Islam
Umat Nabi Muhammad ﷺ mewarisi khitan sebagai salah satu ajaran penting. Para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya: sebagian menyatakan wajib, terutama bagi laki-laki, dan sebagian mengatakan sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Namun, semua sepakat bahwa khitan adalah amalan yang penuh dengan hikmah dan manfaat.
Dari sisi kesehatan, khitan terbukti dapat mencegah berbagai penyakit, menjaga kebersihan, dan mendukung kehidupan seksual yang sehat dalam pernikahan. Dari sisi spiritual, khitan adalah bentuk penghambaan. Ia adalah ikrar fisik bahwa seorang Muslim tunduk pada aturan Rabb-nya, bahkan dalam urusan tubuhnya sendiri.
Khitan dalam Kehidupan Umat Muslim
Di berbagai belahan dunia Islam, khitan bukan hanya prosedur medis, tapi juga peristiwa sosial dan spiritual. Di Indonesia, misalnya, khitan disambut dengan syukuran, iring-iringan, dan doa. Di Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan, khitan bisa jadi simbol masuknya seorang anak ke dunia dewasa, sebagai bagian dari tanggung jawab keimanan.
Meski cara dan tradisinya berbeda-beda, makna intinya tetap sama: kesucian dan kepatuhan.
Khitan sebagai Pintu Pendidikan Iman
Bagi anak-anak, khitan seringkali menjadi pengalaman pertama dalam menanggung kesakitan demi sebuah nilai luhur. Ini bukan sekadar soal medis, tapi pelajaran tentang pengorbanan, sabar, dan niat. Dalam banyak keluarga Muslim, sebelum anak dikhitan, ia diajak mengenal makna di baliknya: bahwa ia sedang mengikuti sunnah Nabi, bahwa ia sedang bersiap menjadi laki-laki sejati dalam pandangan Islam.
Maka, khitan bisa menjadi pintu pembuka bagi pendidikan iman yang lebih dalam: mengenalkan anak pada perjuangan para nabi, pada konsep kebersihan dalam Islam, dan pada pentingnya mematuhi perintah Allah meskipun terasa berat.
Khitan dan Kesadaran Umat
Di zaman modern, ketika banyak tradisi dan syariat dianggap ketinggalan zaman, umat Islam harus menegaskan kembali makna dari amalan-amalan seperti khitan. Kita tidak boleh terjebak hanya dalam bentuk, tetapi juga harus menggali nilai-nilai spiritual dan syar’i yang terkandung di dalamnya. Khitan bukanlah budaya, tapi warisan wahyu.
Ia menghubungkan kita dengan para nabi, dari Ibrahim AS hingga Muhammad SAW. Ia mengingatkan kita bahwa penghambaan kepada Allah bukan sekadar di hati, tapi juga harus nyata di tubuh, di tindakan, dan dalam komitmen sehari-hari.
Menjaga Fitrah, Merawat Warisan Nabi
Khitan adalah tanda suci yang menghubungkan kita dengan sejarah panjang kenabian. Dari Ibrahim AS yang taat di usia delapan puluh, hingga anak-anak kecil yang tersenyum di pangkuan ibunya setelah dikhitan hari ini—semua terhubung dalam satu ikatan: ketaatan kepada Allah.
Dalam setiap luka yang disembuhkan, ada nilai yang terpatri. Dalam setiap air mata yang menetes, ada iman yang tumbuh. Khitan bukan hanya memotong bagian dari tubuh, tapi juga menyambung hati dengan ketundukan kepada Tuhan.
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang menjaga fitrah, meneladani para nabi, dan senantiasa istiqomah dalam syariat.