Dalam kehidupan manusia, kesombongan atau takabur adalah penyakit hati yang paling halus, namun paling berbahaya. Takabur dapat tumbuh dari kelimpahan harta, tingginya jabatan, kelebihan ilmu, bahkan dalam amal ibadah. Sebuah dosa yang mungkin tampak kecil di permukaan, namun justru menjadi sebab kehancuran makhluk-makhluk besar di masa lalu. Sejarah Islam dan Al-Qur’an memperlihatkan kepada kita dua sosok utama yang hancur akibat kesombongan mereka: Iblis dan Qarun.
Iblis yang dulu mulia di sisi Allah, terlempar dari kemuliaan hanya karena satu penyakit hati ini: takabur. Qarun yang dahulu dihormati kaumnya, berakhir ditelan bumi karena merasa bahwa kekayaannya adalah buah kepandaiannya semata. Betapa dalam pesan Al-Qur’an tentang bahaya takabur, yang bukan hanya mencelakakan di dunia, tetapi menjadi penyebab kesengsaraan abadi di akhirat.
Takabur: Akar dari Segala Kebinasaan
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan meskipun sebesar biji sawi.” (HR. Muslim)
Hadits ini menggambarkan betapa seriusnya bahaya takabur. Bahkan sebesar biji sawi pun cukup untuk menghalangi seseorang dari surga. Mengapa? Karena takabur menutup hati dari menerima kebenaran, membuat manusia lupa bahwa semua yang ia miliki adalah titipan dari Allah, dan mendorongnya meremehkan orang lain.
Takabur menjadikan seseorang buta terhadap hakikat dirinya sebagai hamba yang lemah. Manusia diciptakan dari tanah yang hina, berasal dari setetes air yang najis, dan akan kembali menjadi mayat tak berdaya. Lantas, apa yang layak dibanggakan?
Iblis: Makhluk Mulia yang Tersungkur karena Takabur
Iblis adalah contoh paling nyata dari bagaimana takabur menghancurkan derajat mulia. Ia dahulu beribadah ribuan tahun, dikenal oleh para malaikat sebagai ahli sujud dan taat. Namun ketika Allah memerintahkannya sujud kepada Adam, egonya memberontak:
“Aku lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS. Al-A’raf: 12)
Ucapan ini lahir dari perasaan lebih tinggi, lebih mulia, lebih layak dibanding Adam. Padahal hak untuk menilai hanyalah milik Allah. Iblis menolak sujud bukan karena kurang bukti atau kurang pengetahuan, tetapi karena kesombongan di hati yang mengingkarinya.
Akibatnya?
Semua ibadah dan pengabdiannya selama ribuan tahun sirna. Ia terusir dari rahmat Allah, dilaknat hingga hari kiamat. Inilah bukti bahwa takabur sanggup membatalkan segala kebaikan, menghapus amal, dan menjatuhkan manusia — bahkan makhluk seperti Iblis — ke dalam kehinaan abadi.
Qarun: Kaya Raya, Tetapi Ditelan Bumi
Kisah lain yang sarat pelajaran adalah Qarun, seorang dari kaum Bani Israil yang diberi kekayaan luar biasa. Al-Qur’an menyebutkan:
“Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, tetapi dia berlaku zalim terhadap mereka. Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sekelompok orang yang kuat.” (QS. Al-Qashash: 76)
Namun ketika kaumnya menasihatinya untuk bersyukur dan menggunakan harta di jalan Allah, ia malah berkata:
“Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.” (QS. Al-Qashash: 78)
Inilah suara kesombongan: merasa bahwa kekayaan datang semata karena kepintaran dan usahanya sendiri, mengingkari peran Allah sebagai Maha Pemberi Rizki. Qarun lupa bahwa ilmu dan tenaga yang ia miliki pun pemberian Allah.
Lalu Allah binasakan dia:
“Maka Kami benamkan dia beserta rumahnya ke dalam bumi…” (QS. Al-Qashash: 81)
Semua yang ia banggakan lenyap dalam sekejap. Begitu pula setiap kesombongan manusia, cepat atau lambat akan menemui kehancurannya.
Kesombongan di Zaman Modern: Wajah Baru Penyakit Lama
Di zaman ini, takabur tampil dalam berbagai bentuk. Tak hanya lewat harta dan kekuasaan, tetapi juga lewat ilmu, gelar akademik, popularitas di media sosial, bahkan dalam urusan ibadah.
Ada yang merasa paling benar karena amalnya, memandang rendah orang yang masih bergelimang dosa. Ada yang merasa unggul karena kepintaran, meremehkan nasihat dari orang yang lebih sederhana. Takabur menyelinap lewat pikiran, lewat lisan, lewat status di layar ponsel.
Padahal setiap nafas kita milik Allah. Setiap rizki, kecerdasan, kecantikan, kedudukan — semuanya hanya titipan yang bisa diambil seketika. Bila Allah menghendaki, dalam sekejap mata seseorang bisa berubah dari kaya menjadi miskin, dari kuat menjadi lemah, dari dipuji menjadi dicela.
Tawadhu’: Penawar Bagi Hati yang Sakit Takabur
Islam tidak hanya memperingatkan bahaya takabur, tetapi juga mengajarkan penawarnya: tawadhu’ (rendah hati). Tawadhu’ membuat hati ringan, lapang, dan dekat dengan Allah. Rasulullah ﷺ, manusia paling mulia, justru paling tawadhu’. Beliau tidur di atas pelepah kurma, menjahit sendiri sandalnya, dan duduk makan di lantai.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Dan barangsiapa yang merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim)
Tawadhu’ bukan berarti minder atau merendahkan diri secara berlebihan, tetapi menyadari hakikat diri sebagai hamba Allah, siap menerima kebenaran dari siapapun, dan menghormati makhluk lainnya tanpa merasa lebih tinggi.
Jalan Selamat dari Jurang Takabur
Saudaraku, hati-hatilah terhadap takabur, karena ia musuh yang tersembunyi. Ia sanggup merusak amal yang paling ikhlas, merusak persaudaraan yang paling hangat, dan menghancurkan kemuliaan yang paling tinggi. Belajarlah dari Iblis yang terkutuk karena takabur. Ambillah pelajaran dari Qarun yang ditelan bumi karena sombong atas kekayaannya.
Mari kita jaga hati dengan tawadhu’. Sadari bahwa semua milik Allah, semua bisa hilang dalam sekejap jika Ia menghendaki. Semakin tinggi pohon, semakin dalam akarnya menancap ke bumi. Semakin tinggi ilmu dan amal, semakin besar kewajiban untuk rendah hati.
Semoga Allah melindungi kita dari penyakit hati yang berbahaya ini, menanamkan keikhlasan dalam setiap langkah, dan meninggikan derajat kita dengan kerendahan hati.