Dalam Islam, peran ibu tidak sekadar sebagai pengasuh atau pelengkap rumah tangga. Lebih dari itu, ibu adalah madrasah pertama dan utama bagi anak-anaknya. Ia adalah pendidik sejati yang meletakkan fondasi akidah, akhlak, serta nilai-nilai kebaikan dalam jiwa generasi penerus. Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini memberi isyarat jelas bahwa ibu dan ayah, terutama ibu yang lebih dekat secara fisik dan emosional kepada anak di masa-masa awal kehidupannya, memiliki pengaruh luar biasa dalam membentuk karakter anak. Dari pelukan pertamanya, dari kata-kata lembutnya, dari tangisan dan doanya yang lirih di sepertiga malam, terbentuklah pribadi anak yang kelak mengisi peradaban.
Ibu, Sumber Ilmu Pertama
Sebelum seorang anak mengenal guru di sekolah, dosen di kampus, atau ulama di majelis ilmu, ia telah menyerap banyak pelajaran dari ibunya. Dari ibulah, anak belajar tentang kasih sayang, kesabaran, tanggung jawab, dan disiplin. Sebuah kata lembut “jangan nakal”, sebuah pelukan hangat ketika terjatuh, sebuah kecupan di dahi sebelum tidur — semua itu adalah kurikulum pendidikan jiwa yang tak tertulis di buku manapun.
Ibu yang cerdas dan shalihah akan senantiasa menyisipkan nilai keimanan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, ketika menyuapi anak, ia berkata, “Bismillah ya sayang, supaya makanmu berkah.” Ketika anak ketakutan di malam hari, sang ibu menenangkan dengan membaca doa-doa perlindungan. Ketika anak marah atau kecewa, sang ibu mengajarkan untuk bersabar dan berdoa kepada Allah. Inilah cara ibu menjadi madrasah terbaik, tanpa kelas, tanpa papan tulis, tapi membekas dalam hati anak selamanya.
Peran Ibu dalam Membentuk Akhlak
Akhlak adalah cerminan dari pendidikan rumah. Anak yang tumbuh dalam pelukan ibu yang penyabar, biasanya akan tumbuh menjadi pribadi yang tenang dan santun. Anak yang sering melihat ibunya beribadah dengan khusyuk, gemar membaca Al-Qur’an, menjaga lisan, akan menyerap semua perilaku itu, bahkan tanpa sadar.
Ibu yang selalu menjaga lisannya dari ghibah, mengajarkan anak untuk berkata baik atau diam. Ibu yang ringan tangan dalam menolong tetangga, tanpa banyak mengeluh, mengukir dalam diri anak rasa empati dan kepedulian sosial. Inilah madrasah akhlak yang jauh lebih efektif dibandingkan ceramah atau perintah semata.
Mendidik Anak di Era Digital
Di zaman modern ini, tantangan ibu sebagai madrasah semakin berat. Media sosial, game online, tontonan bebas — semua bisa membentuk kepribadian anak tanpa disaring. Di sinilah peran ibu menjadi benteng utama. Ibu harus melek teknologi, peka terhadap pergaulan anak, dan tetap menanamkan nilai Islam dalam setiap aktivitas anak, meski dalam dunia digital.
Misalnya, mengajarkan adab menggunakan gadget: “Sebelum buka HP, baca Bismillah.” Atau membimbing memilih tontonan yang mendidik dan Islami, serta membatasi waktu layar dengan alasan agama, bukan sekadar larangan tanpa penjelasan.
Seorang ibu bijak tidak sekadar berkata “jangan main HP terus”, tapi juga memberi alternatif kegiatan yang bermanfaat: membaca buku, menghafal Al-Qur’an, membantu pekerjaan rumah, atau bermain di alam. Ibu yang menjadi madrasah terbaik selalu kreatif mengemas pendidikan dengan cara yang menarik bagi anak.
Ibu sebagai Sumber Doa dan Keberkahan
Selain sebagai pendidik lahir, ibu juga adalah pendoa utama bagi anaknya. Berapa banyak kisah orang sukses di dunia dan akhirat, yang rahasianya terletak pada doa ibu? Seorang ulama besar seperti Imam Syafi’i, misalnya, memiliki ibu yang shalihah, yang selalu mendoakannya setiap malam agar menjadi ahli ilmu. Begitu pula banyak tokoh dunia Islam yang besar karena doa seorang ibu yang penuh air mata di sepertiga malam.
Ibu yang sadar posisinya sebagai madrasah terbaik takkan pernah lupa mendoakan anak-anaknya. Bahkan di saat lelah, sakit, dan duka, lisannya tetap basah menyebut nama anak-anaknya agar dijaga Allah, dilapangkan rezekinya, dijadikan hamba yang shalih, pejuang agama, pembangun peradaban.
Menghidupkan Peran Ibu Sebagai Madrasah di Tengah Keluarga
Menjadi madrasah terbaik bukan perkara mudah. Dibutuhkan niat lurus, kesungguhan, ilmu yang terus dituntut, serta keteladanan yang nyata. Ibu tidak boleh lelah belajar: membaca Al-Qur’an, menyimak kajian, berdiskusi dengan suami, bertanya kepada ulama. Dengan demikian, ibu bisa menjadi guru ruhani sekaligus guru dunia bagi anak-anaknya.
Kebersamaan dengan suami juga sangat penting. Suami harus menjadi pendukung utama dalam proses ini, bukan justru menjadi beban atau penghambat. Suami yang menyadari besarnya peran ibu dalam rumah tangga akan memudahkan istrinya belajar, beribadah, bahkan beristirahat sejenak dari penatnya tugas domestik.
Ibu, Engkaulah Pencetak Generasi Surga
Wahai para ibu, sadarlah… di tanganmulah kunci perubahan peradaban. Dari rahimmu lahir generasi umat ini. Dari pelukanmu tumbuh para pemimpin masa depan. Dari doamu terukir takdir anak-anakmu.
Jangan anggap remeh air mata lelahmu. Jangan sia-siakan waktumu dengan hal sia-sia. Jadilah ibu shalihah yang menanam benih surga dalam dada anak-anakmu. Jadilah madrasah pertama dan terbaik, sebagaimana pesan agung Islam kepada para wanita: “Wanita adalah tiang negara, bila ia baik maka baiklah negara itu, bila rusak, maka rusaklah negara itu.”
Semoga Allah menolong para ibu untuk mengemban amanah besar ini. Aamiin.