Banyak di antara kita yang merasa rezekinya tersendat. Usaha sudah maksimal, tenaga terkuras, strategi diputar-putar, namun hasil tetap tidak sepadan. Di saat seperti itu, manusia cenderung menyalahkan keadaan, mengeluh pada sesama, atau merasa Tuhan tidak adil. Padahal, bisa jadi yang kurang bukan pada usaha, tapi pada istighfar—sebuah amalan ringan di lisan namun dahsyat dalam pengaruh.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, mengutip nasihat Nabi Nuh ‘alaihissalam kepada kaumnya:
“Maka aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.’” (QS. Nuh: 10-12)
Ayat ini begitu gamblang menunjukkan hubungan langsung antara istighfar dan kelapangan rezeki. Ampunan Allah membuka pintu-pintu langit yang semula tertutup, menurunkan hujan, menumbuhkan tanaman, melapangkan harta, memperbanyak keturunan, dan menyuburkan kehidupan. Jika manusia menyadari betapa istighfar bisa mengubah takdir, mungkin lisan ini takkan pernah henti mengucapkannya.
Istighfar Bukan Sekadar Ritual
Sayangnya, banyak orang memandang istighfar hanya sebagai bacaan rutin setelah shalat, atau pelengkap doa saat merasa berdosa. Padahal, istighfar adalah bentuk kembali kepada Allah dengan penuh kesadaran akan kelemahan diri, pengakuan atas dosa-dosa, dan harapan besar untuk diberi kelapangan dunia dan akhirat. Ia adalah ekspresi kejujuran terdalam seorang hamba di hadapan Tuhannya.
Dahsyatnya istighfar bukan hanya terbatas pada penghapusan dosa, tapi juga sebagai pengundang pertolongan ilahi. Ketika seseorang istiqamah dalam istighfar, ia sedang menyucikan jiwanya dari beban yang tidak terlihat. Hati yang bersih itu akan menjadi magnet bagi keberkahan. Sebaliknya, dosa yang menumpuk adalah penghalang utama datangnya rezeki.
Rasulullah ﷺ sendiri, manusia paling suci dan dijamin masuk surga, beristighfar lebih dari 70 kali sehari, sebagaimana disebut dalam hadits riwayat Bukhari. Jika beliau saja melakukannya sebanyak itu, bagaimana dengan kita yang penuh kekhilafan?
Istighfar dan Kekuatan yang Menyertai
Selain kelapangan rezeki, istighfar juga menjadi sumber kekuatan batin. Banyak orang yang menyerah karena beban hidup terasa berat. Mereka tidak sadar bahwa beban itu sejatinya bertambah karena akumulasi dosa yang tidak dibersihkan. Seperti saluran air yang tersumbat oleh kotoran, begitu pula hati yang tersumbat oleh dosa akan menghambat aliran energi positif dari langit.
Dengan istighfar, hati kembali bening, pikiran menjadi jernih, dan langkah terasa ringan. Masalah yang tadinya terlihat raksasa, kini terlihat dalam skala yang lebih kecil dan dapat ditangani. Inilah kekuatan tersembunyi dari istighfar: ia membangkitkan harapan dan semangat hidup.
Kita tidak perlu menunggu waktu tertentu. Di setiap helaan napas, setiap kesendirian, dalam perjalanan, sebelum tidur, bahkan saat bekerja—istighfar bisa dilantunkan. Tidak butuh biaya, tidak makan waktu lama, namun efeknya bisa mengubah arah hidup seseorang.
Menjadikan Istighfar Sebagai Gaya Hidup
Sudah saatnya kita menjadikan istighfar sebagai kebiasaan harian, bukan hanya pelarian saat dilanda masalah. Seperti kita rutin makan untuk menguatkan tubuh, istighfar adalah “makanan jiwa” yang membersihkan dan menguatkan dari dalam.
Cobalah awali hari dengan 100 kali istighfar. Lakukan dengan hati yang sadar, bukan hanya lisan yang terburu-buru. Rasakan ketenangan yang mengalir setelahnya. Dalam seminggu, lihat bagaimana perubahan mulai muncul—rezeki yang lebih lancar, pikiran yang lebih tenang, dan masalah yang lebih cepat terurai.
Pembuka Pintu Langit
Istighfar bukan sekadar doa mohon ampun. Ia adalah pembuka pintu langit, penghapus kesempitan, pengundang hujan rahmat, dan pelembut hati yang keras. Dalam dunia yang penuh persaingan dan ketidakpastian ini, istighfar menjadi jalan kembali kepada sumber kekuatan sejati—Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jika hidup terasa sempit, jika rezeki terasa seret, jika hati terasa lelah—barangkali bukan karena kita kurang usaha, tapi karena kita kurang istighfar.