Di tengah hiruk-pikuk dunia yang terus bergerak, ada dua sosok yang sejak awal tak pernah berpaling. Kala langkah kita masih tertatih, mereka merelakan malam-malamnya demi satu hal: melihat kita tumbuh, walau harus menua lebih cepat. Ayah dan ibu—dua nama suci yang dalam diam dan peluhnya, tersimpan cinta paling agung di muka bumi.
Berbakti bukan hanya kewajiban, ia adalah jiwa dari kehidupan itu sendiri.
Ia bukan ritual sesaat, melainkan napas yang seharusnya hadir dalam setiap tindakan. Sebab sebelum kita bisa menyebut nama Tuhan, kita lebih dulu menyebut kata “Bunda” dengan cadel dan penuh air liur. Dan sebelum memahami arti tanggung jawab, kita telah melihat bagaimana ayah mengayuh hidup dengan letih yang tak pernah ia keluhkan.
Al-Qur’an berkata tegas dalam firman-Nya:
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu…” (QS. Al-Isra: 23)
Sebuah perintah yang berdampingan langsung dengan tauhid, menandakan bahwa bakti kepada orang tua bukan perkara remeh yang bisa dipilih-pilih. Ia adalah syarat ridha Allah, dan jembatan menuju keberkahan hidup.
Namun zaman kini berubah cepat. Banyak yang mengira, setelah dewasa, bakti cukup dibayar dengan uang atau sekadar telepon sebulan sekali. Padahal, kasih orang tua bukan investasi yang bisa dilunasi. Mereka tak pernah menagih. Tapi langit mencatat tiap air mata yang jatuh di sajadah karena anaknya yang kian jauh, atau yang lupa memeluk, lupa mendengar, lupa pulang.
Bakti adalah tentang kehadiran. Tentang waktu, tentang telinga yang mendengar, tangan yang menggenggam, dan doa yang tak pernah putus.
Bakti adalah tentang memilih menunda kesibukan agar bisa duduk menemani ibu bercerita, walau kisahnya berulang-ulang. Tentang menyeka peluh ayah walau kini tubuhnya telah renta, karena dulu, kita yang ia gendong ke mana-mana tanpa keluhan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Ridha Allah terletak pada ridha orang tua, dan murka Allah terletak pada murka orang tua.” (HR. Tirmidzi)
Lalu bagaimana kita bisa berharap surga, jika yang membukakan pintunya saja kita abaikan?
Bagaimana ingin hidup berkah, jika pelukan ibu tak pernah kita cari, dan nasihat ayah kita tentang entengkan sebagai suara masa lalu?
Berbakti tak pernah usang. Bahkan setelah mereka tiada, bakti bisa terus bernyawa.
Lewat doa setiap malam, sedekah atas nama mereka, melunasi janji-janji mereka yang tertunda, dan menjaga nama baik yang dahulu mereka perjuangkan dengan seluruh hidup. Sebab cinta sejati tak terhenti di liang lahat. Ia mengalir bersama amal jariyah yang kita teruskan.
Wahai jiwa yang sibuk mengejar dunia,
Jangan lupa, surga bukan tempat yang bisa dibeli, tapi diraih—salah satunya lewat bakti.
Datangilah ayahmu, peluk ibumu, mintalah ridha mereka sebelum dunia menutup pintu.
Karena ketika mereka telah pergi, hanya penyesalan yang berbicara dalam sunyi.
Bakti tak pernah menua. Ia abadi—sepanjang cinta terus hidup dalam dada seorang anak.