Anak Indonesia, Harapan Negeri: Menumbuhkan dengan Kasih dan Teladan

Setiap tanggal 23 Juli, Indonesia memperingati Hari Anak Nasional, sebuah momentum penting untuk mengingatkan kita semua bahwa anak-anak bukan sekadar pewaris masa depan, tetapi juga pemilik hari ini. Mereka adalah harapan negeri—permata yang kelak akan memimpin bangsa ini, menentukan arah dan warna masa depan Indonesia. Namun, pertanyaannya: sudahkah kita tumbuhkan mereka dengan kasih dan teladan yang benar?

 

Anak-anak tidak hanya membutuhkan makanan, pakaian, dan pendidikan formal semata. Mereka butuh lingkungan yang penuh cinta, suasana yang menanamkan rasa aman, serta orang dewasa yang bisa menjadi panutan sejati. Dalam keluarga, seorang anak belajar arti kejujuran, kesabaran, disiplin, dan tanggung jawab—bukan dari perintah, tapi dari contoh nyata yang mereka lihat setiap hari. Maka tak heran jika Rasulullah ﷺ bersabda:

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini mengingatkan kita bahwa anak adalah tanah yang subur. Jika ditanam dengan benih kebaikan, disiram dengan akhlak mulia, dan dijaga dari hama keburukan, maka ia akan tumbuh menjadi pohon yang kokoh dan berbuah kebaikan.

 

Namun hari ini, tantangan yang dihadapi anak-anak jauh lebih kompleks. Dunia digital yang penuh informasi, tetapi juga jebakan; sistem pendidikan yang masih terlalu menekankan angka dan prestasi, namun kurang ruang untuk karakter; serta keluarga yang sibuk dan kadang tak sempat mendengar suara hati anak. Tak jarang, anak-anak tumbuh dengan luka batin yang tak terlihat: merasa tidak dicintai, tidak dihargai, atau bahkan tidak dianggap.

 

Dalam memperingati Hari Anak Nasional, ini saatnya kita sebagai orang tua, guru, masyarakat, dan negara merenung:

Sudahkah kita menjadi bagian dari tumbuh kembang anak-anak dengan cinta dan keteladanan? Ataukah tanpa sadar kita hanya menjadi penuntut dan penghakim mereka?

Kita perlu memulai dari hal sederhana—menghargai pendapat anak, memeluk mereka setiap hari, mendengarkan cerita mereka dengan sepenuh hati, dan menanamkan nilai-nilai mulia lewat tindakan, bukan hanya kata-kata. Kita perlu hadir bukan hanya secara fisik, tapi juga secara emosional dan spiritual.

 

Lebih dari itu, negara dan masyarakat juga wajib memberikan perlindungan yang nyata. Masih banyak anak Indonesia yang hidup dalam kemiskinan, terjerat pernikahan dini, menjadi korban kekerasan, hingga tidak memiliki akses pendidikan yang layak. Hari Anak Nasional bukan sekadar seremonial, tetapi seruan nurani—untuk bersama-sama menciptakan ekosistem yang aman, sehat, dan ramah anak.

 

Akhirnya, mari kita ingat bahwa dalam diri setiap anak, ada potensi luar biasa yang bisa menerangi masa depan bangsa ini. Tapi potensi itu hanya akan tumbuh jika kita rawat dengan kasih dan keteladanan, bukan sekadar instruksi dan tuntutan. Anak-anak bukan kertas kosong yang bebas kita coret sesuka hati, mereka adalah amanah dari Allah, yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.

“Dan ketahuilah, bahwa harta-harta kalian dan anak-anak kalian itu hanyalah cobaan, dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal: 28)

Selamat Hari Anak Nasional. Mari kita jaga anak-anak kita. Karena mereka bukan hanya milik keluarga, tapi milik bangsa—dan milik masa depan.