Di zaman yang serba cepat ini, kita sering kali terpaku pada kesibukan duniawi—mengejar rezeki, meraih prestasi, membangun jaringan, dan mengumpulkan kekayaan. Tak salah memang, sebab Islam pun mendorong umatnya untuk kuat secara ekonomi dan berdaya secara sosial. Namun, dalam hiruk-pikuk itu, ada satu hal yang sering terlupakan: masjid.
Padahal masjid adalah rumah ruhani kita, tempat jiwa-jiwa yang lelah kembali menemukan tenang, dan tempat dimana keimanan kembali diisi. Masjid bukan hanya bangunan fisik dengan kubah dan karpet sajadah, tapi sebuah simbol peradaban, pusat pembinaan iman, dan tempat berlabuhnya hati orang-orang beriman.
Masjid di Masa Rasulullah ﷺ: Jantung Umat, Bukan Sekadar Tempat Ibadah
Kita hanya perlu menengok sejarah Islam di masa Rasulullah ﷺ untuk melihat betapa pentingnya masjid dalam kehidupan seorang Muslim. Di Madinah, masjid bukan hanya tempat shalat, tapi menjadi pusat aktivitas umat:
- Tempat berkumpulnya kaum Muslimin
- Pusat pendidikan dan dakwah
- Tempat menyelesaikan urusan sosial dan hukum
- Markas perencanaan perjuangan Islam
Dari masjidlah Rasulullah ﷺ mempersatukan suku-suku yang bertikai. Dari masjid pula Islam menyebar ke penjuru dunia. Masjid adalah pusat denyut nadi umat Islam. Maka ketika masjid sepi, itu bukan sekadar soal kursi kosong atau karpet tak terinjak—itu tanda bahwa jantung umat mulai melemah.
Kita dan Masjid Hari Ini: Masihkah Ada Rasa Memiliki?
Sayangnya, realita hari ini begitu kontras. Di banyak tempat, masjid megah berdiri, namun tak sedikit yang hanya ramai di hari Jumat atau saat Ramadan. Shalat lima waktu seringkali hanya diikuti oleh beberapa jamaah, bahkan ada masjid yang hanya menjadi “penjaga speaker adzan”, bukan rumah yang benar-benar dihidupkan.
Pertanyaannya: mengapa kita menjauh dari masjid?
Apakah karena kesibukan dunia? Apakah karena kita tak lagi merasa butuh? Atau justru karena kita sudah kehilangan rasa memiliki terhadap masjid sebagai rumah kita sendiri?
“Jika engkau ingin tahu sejauh mana hubungan seorang Muslim dengan Tuhannya, lihatlah bagaimana hubungannya dengan masjid.”
Kalimat ini sederhana, namun begitu mengena. Masjid adalah indikator keimanan. Orang yang hatinya terpaut pada masjid, berarti hatinya terpaut pada Allah.
Rindu Menjadi Jamaah: Meraih Pahala dan Persaudaraan
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa pergi ke masjid pada waktu pagi atau sore hari, Allah menyiapkan baginya tempat di surga setiap kali ia pergi dan pulang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menyiratkan bahwa langkah kaki ke masjid bukan hanya aktivitas fisik, tapi juga investasi akhirat. Bahkan, setiap langkah ke masjid dihapuskan dosa dan ditinggikan derajatnya.
Shalat berjamaah pun memiliki keutamaan luar biasa:
- Pahalanya 27 kali lipat dibanding shalat sendiri.
- Melatih disiplin dan keteraturan waktu.
- Membangun ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama Muslim).
- Meningkatkan kesadaran sosial dan kepedulian sesama.
Berjamaah di masjid juga menumbuhkan rasa rendah hati, karena semua orang berdiri sejajar di hadapan Allah. Tak ada lagi status sosial, gelar, atau jabatan. Yang ada hanyalah hamba-hamba yang merendah di hadapan Rabb-nya.
Masjid, Cermin Peradaban dan Kebangkitan
Ulama besar Hasan al-Banna pernah mengatakan, “Kebangkitan umat Islam dimulai dari masjid. Maka bangunkan masjid-masjid, dan hidupkan ruhnya.”
Ini bukan sekadar metafora. Umat yang hidup bersama masjid adalah umat yang saling mengenal, saling menguatkan, saling mendoakan. Dari masjid tumbuh kader-kader kebaikan: anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan ibadah, pemuda yang terbiasa dengan nilai-nilai tauhid, dan orang tua yang menjadi teladan ketakwaan.
Kebangkitan Islam tidak bisa dimulai dari istana, tetapi dari masjid.
Mari Kita Pulang: Langkah Nyata Menghidupkan Masjid
Kita tak bisa lagi menunggu orang lain untuk menghidupkan masjid. Tanggung jawab ini adalah tanggung jawab bersama. Masjid tak akan hidup jika jamaahnya mati rasa. Maka mulai dari diri sendiri:
1. Niatkan hadir ke masjid setiap waktu shalat, terutama bagi laki-laki.
2. Ajak keluarga dan anak-anak, karena pendidikan iman dimulai dari teladan.
3. Berperan aktif di kegiatan masjid, baik sebagai panitia, donatur, pengajar, atau sukarelawan.
Rawat masjid dengan cinta, bersihkan, jaga ketenangannya, dan makmurkan dengan ibadah dan ilmu.
5. Jadikan masjid sebagai tempat kumpul yang menyenangkan, bukan tempat yang kaku dan membosankan.
Ingatlah, masjid bukan milik pengurus, tapi milik umat. Ia adalah rumah kita semua. Dan rumah yang ditinggalkan akan rapuh, rusak, bahkan terlupakan.
Jangan Tunggu Sampai Masjid Kehilangan Jamaahnya
Setiap kali adzan berkumandang, itu adalah undangan Allah. Apakah kita akan datang atau mengabaikan? Setiap langkah ke masjid adalah langkah menuju cahaya, menuju ketenangan, menuju surga.
Jangan biarkan masjid menjadi saksi bisu dari umat yang lalai. Jangan biarkan karpet masjid tak disentuh dahi. Jangan biarkan mimbar masjid tak lagi menyampaikan nasihat. Jangan biarkan rumah Allah menjadi rumah yang sepi.
Mari kita pulang. Mari kita kembali menjadi jamaah. Karena di situlah rumah kita yang sebenarnya. Di situlah tempat jiwa kita seharusnya beristirahat.
Dan semoga dari setiap sujud yang kita lakukan bersama, lahirlah kekuatan umat yang tak hanya taat, tapi juga tangguh, penuh rahmat, dan siap membangun peradaban.