Ada satu kutipan yang begitu sederhana namun mendalam: “Sepotong besi rusak karena karatnya sendiri. Jangan sampai dirimu rusak karena hal-hal yang hanya ada di pikiranmu.”
Kalimat ini mengajarkan kita bahwa sering kali manusia bukan hancur karena ujian dari luar, melainkan karena kekhawatiran, prasangka, dan pikiran yang ia biarkan tumbuh dari dalam dirinya sendiri. Pikiran yang berlebihan adalah seperti karat kecil yang lambat laun menggerogoti besi yang kokoh. Ia mungkin tak terlihat, tapi perlahan mampu meruntuhkan segalanya.
Hidup Tidak Untuk Dihabiskan dalam Kekhawatiran
Betapa sering kita terjebak dalam ketakutan yang belum tentu nyata. Kita memikirkan masa depan seakan-akan kita mampu menguasainya, padahal kita bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi satu jam ke depan. Kita menyimpan rasa cemas, seolah semua beban hidup bergantung di pundak kita. Padahal, ada hal-hal yang tidak seharusnya terlalu kita pikirkan—karena memang hanya perlu dijalani.
Allah sudah menuliskan takdir kita jauh sebelum kita dilahirkan. Maka, mengapa kita masih menguras energi untuk sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan? Kekhawatiran hanya akan melemahkan langkah. Bukankah Allah berfirman:
“Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)
Ayat ini seolah mengingatkan kita: cukup serahkan semua kepada-Nya. Jika Allah sudah menjamin kecukupan, maka tidak ada yang perlu kita risaukan secara berlebihan.
Berbaik Sangka pada Allah: Kunci Ketenangan Hati
Salah satu sebab mengapa kita sering diliputi keresahan adalah karena kita lupa berbaik sangka pada Allah. Kita melihat musibah sebagai keburukan, padahal bisa jadi itulah jalan yang mengantarkan kita pada kebaikan. Kita menganggap keterlambatan sebagai kegagalan, padahal bisa jadi itu adalah perlindungan dari bahaya yang tidak kita ketahui.
Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadis Qudsi:
“Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Maka hendaklah ia berprasangka kepada-Ku sesuai yang ia kehendaki.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa hidup kita akan seindah prasangka kita kepada Allah. Jika kita percaya bahwa Allah menulis skenario terbaik, maka hati kita akan tenang meski dunia tampak berantakan.
Belajar Menenangkan Hati
Saat pikiranmu mulai bising, tarik napas dalam-dalam, lalu bisikkan pada dirimu: “Aku tidak sendiri, Allah bersamaku.” Kalimat sederhana ini mampu meredam gelombang yang mengombang-ambingkan hatimu.
Hidup ini terlalu singkat untuk terus-menerus dihabiskan dengan kecemasan. Dunia akan selalu berjalan dengan masalahnya, tapi hati kita bisa memilih untuk berserah. Jadilah seperti orang yang berjalan di tepi pantai—ombak mungkin datang, tapi ia tahu di balik itu ada keindahan yang menunggu.
Serahkan, Bukan Menyerah
Berhenti berpikir berlebihan bukan berarti menyerah pada keadaan. Justru, itu berarti kita sedang belajar meletakkan segala sesuatu di tempatnya: berusaha semampunya, lalu menyerahkan hasilnya pada Allah. Inilah makna tawakal yang sesungguhnya.
Karena sejatinya, selama engkau berjalan dengan Allah, tidak ada satu pun langkah yang sia-sia. Bahkan air mata sekalipun, di hadapan-Nya, menjadi doa yang tidak pernah tertolak.
Biarkan Allah Menjadi Penulis Hidupmu
Kita hanya pemeran dalam drama kehidupan. Naskahnya ditulis oleh Allah, Sang Maha Sutradara. Tugas kita hanyalah memainkan peran sebaik mungkin, bukan menulis ulang skenarionya.
Maka, jangan biarkan pikiran buruk menggerogoti hatimu. Jangan biarkan prasangka buruk merampas kebahagiaanmu. Berbaik sangkalah, karena Allah selalu menyiapkan sesuatu yang indah pada waktunya.
Ingatlah, besi hanya bisa dirusak oleh karatnya sendiri. Demikian pula manusia, ia hanya bisa rusak oleh pikirannya sendiri. Jadi, rawatlah pikiranmu dengan iman, dan jagalah hatimu dengan tawakal.