Ada sebuah bahaya yang lebih mengerikan daripada gelapnya malam tanpa bintang, lebih menakutkan daripada jalan panjang tanpa arah: yaitu ketika hati manusia memilih untuk buta. Bukan karena tidak mampu melihat, tetapi karena menolak untuk melihat. Bukan karena telinga tidak berfungsi, tetapi karena enggan mendengar. Inilah penyakit hati yang jauh lebih berbahaya daripada kebutaan mata fisik—yaitu kebutaan hati yang menolak kebenaran.
Allah ﷻ sudah memperingatkan dalam Al-Qur’an:
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami, atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46).
Ayat ini mengingatkan kita bahwa sesungguhnya musibah terbesar bukanlah kehilangan penglihatan, melainkan ketika hati menolak cahaya kebenaran yang selalu hadir di sekitar kita. Kita bisa saja berilmu, memiliki banyak pengalaman, bahkan pandai berbicara. Namun, jika hati tidak terbuka kepada Allah, semua itu hanya akan menjadi hiasan yang menipu.
Bahaya Hati yang Membisu
Ketika hati memilih untuk buta, ada beberapa tanda yang muncul:
1. Enggan mendengar ayat-ayat Allah. Al-Qur’an dibacakan, tetapi tidak menyentuh. Hati terasa dingin, bahkan cepat bosan.
2. Memandang kebenaran sebagai sesuatu yang berat. Padahal, mengikuti hawa nafsu terasa mudah dan menyenangkan.
3. Menolak petunjuk. Meskipun kebenaran sudah jelas, hati lebih memilih jalan lain yang penuh kesesatan.
Inilah bahaya yang sering kali tak disadari, karena kebutaan hati tidak datang tiba-tiba. Ia tumbuh perlahan, dimulai dari sering menunda-nunda ketaatan, sering menganggap remeh dosa kecil, hingga akhirnya hati tertutup rapat oleh kelalaian.
Pertanyaan untuk Kita Hari Ini
Kita perlu bertanya pada diri sendiri:
- Apakah kita masih mau memfungsikan mata kita untuk melihat kebenaran yang Allah hadirkan?
- Apakah telinga kita masih mau mendengar ayat-ayat Allah dengan penuh ketundukan?
- Atau, jangan-jangan, kita sudah nyaman dalam kebutaan hati yang menolak hidayah?
Pertanyaan ini bukan sekadar untuk dijawab dengan lisan, tetapi untuk direnungkan dalam-dalam. Karena setiap pilihan hati akan menentukan arah hidup kita, baik di dunia maupun di akhirat.
Jalan Keluar dari Kebutaan Hati
Kabar baiknya, Allah tidak pernah menutup pintu bagi siapa pun yang ingin kembali. Hati yang sempat buta bisa kembali melihat, asalkan kita mau berusaha:
- Perbanyak doa. Rasulullah ﷺ mengajarkan doa: “Ya Allah, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu.”
- Dekat dengan Al-Qur’an. Jadikan ayat-ayat Allah sebagai cahaya harian, bukan sekadar bacaan saat senggang.
- Perbaiki lingkungan. Hati yang buta seringkali dipengaruhi lingkungan yang salah. Teman-teman yang baik akan membantu membuka mata hati kita.
- Jujur pada diri sendiri. Akui kelemahan, jangan selalu membenarkan hawa nafsu.
Perjalanan Singkat
Hidup ini adalah perjalanan singkat. Ada banyak cahaya yang Allah hamparkan di depan kita: Al-Qur’an, nasihat orang shalih, pengalaman hidup, bahkan musibah yang menggetarkan hati. Semua itu adalah tanda agar hati kita tidak buta.
Namun, pada akhirnya pilihan ada pada diri kita masing-masing:
Apakah kita akan membuka mata hati untuk melihat kebenaran, ataukah kita membiarkannya buta hingga cahaya itu terlewat begitu saja?
Semoga Allah menjaga hati kita, menjadikannya lembut, mudah menerima kebenaran, dan tidak pernah berpaling dari petunjuk-Nya. Karena sesungguhnya, hati yang terang akan memandu langkah, sementara hati yang buta hanya akan menjerumuskan pemiliknya ke dalam kegelapan.