Di tengah hiruk pikuk dunia modern, manusia seakan-akan dipaksa untuk terus berlari. Jadwal yang padat, target yang harus dicapai, ambisi yang terus dikejar, membuat kita lupa bahwa diri ini bukan hanya tubuh yang bisa diatur seenaknya. Ada hati yang juga butuh perhatian, ada jiwa yang membutuhkan ruang untuk bernapas.
Kita sering berpikir bahwa istirahat itu identik dengan tidur, rebahan, atau liburan. Padahal hati memiliki caranya sendiri untuk beristirahat, caranya sendiri untuk kembali menemukan tenang. Ia butuh jeda, bukan sekadar henti gerak. Ia butuh hening, bukan sekadar diam.
Allah telah memberikan petunjuk yang jelas dalam Al-Qur’an tentang bagaimana hati bisa benar-benar merasa damai. Allah berfirman:
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Ayat ini adalah kunci. Tenang itu bukan datang dari banyaknya harta, bukan dari pencapaian dunia yang gemerlap, bukan juga dari pujian manusia. Hati hanya menemukan ketentraman ketika ia kembali dihubungkan dengan Sang Pencipta.
Maka, cobalah beri ruang bagi hati. Ambil waktu sejenak di antara rutinitas yang melelahkan. Duduklah hening, mungkin dengan secangkir teh hangat di tangan. Buka mushaf, tatap lembut huruf demi huruf yang penuh cahaya. Resapi bahwa setiap ayat yang kita baca bukan sekadar teks, melainkan pesan langsung dari Allah kepada kita, hamba-Nya. Di situlah hati mulai menemukan arah pulangnya.
Betapa sering kita merasa lelah tanpa sebab. Padahal bisa jadi lelah itu bukan karena badan, melainkan karena hati yang terlalu jauh dari Allah. Kita menumpuk ambisi, kita mengikat diri dengan target-target dunia, tapi lupa menambatkan hati kepada Zat yang mengatur segalanya. Tidak heran jika hati terasa hampa meski dunia seolah berhasil kita genggam.
Coba kita renungkan: bukankah banyak orang yang memiliki segalanya, tapi tetap merasa kosong? Sebaliknya, ada orang yang hidup sederhana, namun wajahnya selalu teduh dan hatinya selalu lapang. Rahasianya ada pada hubungan dengan Allah. Mereka tahu kapan harus berhenti dari keramaian dunia, lalu kembali duduk hening dalam doa.
Istirahat hati bisa hadir dalam berbagai bentuk. Kadang dengan sujud panjang di sepertiga malam, saat dunia terlelap dan hanya Allah yang mendengar lirih doa kita. Kadang dengan sekadar berdzikir dalam perjalanan, mengucap “Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar” sambil menatap langit yang luas. Kadang dengan menahan diri dari keluh kesah, lalu menggantinya dengan syukur atas nikmat sederhana yang sering kita abaikan.
Bukankah setiap tarikan napas ini adalah nikmat? Bukankah detak jantung yang masih berdentum adalah tanda kasih sayang Allah yang belum terputus? Hanya saja, kita sering menutup mata dari nikmat itu karena terlalu sibuk menatap apa yang belum kita miliki.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Ketahuilah, bahwa dalam jasad ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh jasad akan baik. Jika ia rusak, maka seluruh jasad akan rusak. Ketahuilah, itulah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hati adalah pusat kehidupan kita. Jika ia sehat, hidup kita akan terasa ringan meski penuh ujian. Jika ia sakit, dunia sebesar apa pun tidak akan cukup mengobatinya. Maka, menjaga hati adalah kewajiban yang tidak boleh ditunda. Dan salah satu cara terbaik untuk menjaganya adalah dengan memberi waktu istirahat yang benar: kembali kepada Allah.
Saudaraku, mungkin yang kita butuhkan bukan perjalanan jauh untuk liburan, bukan pula tumpukan harta untuk merasa aman. Bisa jadi, yang benar-benar kita perlukan hanyalah jeda sejenak. Duduk diam, membuka mushaf, atau sekadar berdoa singkat dengan penuh kesungguhan:
“Ya Allah, tenangkanlah hatiku dengan-Mu. Jangan biarkan aku mencari tenang di luar diri-Mu, karena aku tahu, hanya Engkau yang mampu memberi ketenangan sejati.”
Karena pada akhirnya, dunia ini hanyalah perjalanan singkat. Kita tidak akan diingat karena kesibukan atau ambisi, melainkan karena hati yang pernah hidup untuk Allah. Maka jangan biarkan hati kita kelelahan sendirian di tengah bising dunia. Beri ia jeda. Dekatkan ia dengan Allah. Di situlah kita menemukan istirahat yang sesungguhnya—istirahat yang bukan sekadar menenangkan, tapi juga menghidupkan jiwa.