Kematian, Nasihat Paling Jujur yang Menyadarkan Akan Kehidupan Setelahnya

Tidak ada nasihat yang lebih dalam maknanya, lebih kuat hentakannya, dan lebih jujur pengingatannya dibandingkan kematian. Sebaik-baiknya nasihat adalah kematian—karena ia tidak pernah menunda, tidak pernah berbohong, dan tidak pernah salah alamat.

 

Andai setelah kematian kita didiamkan selamanya, mungkin kita bisa menyebut kematian itu sebagai sebuah istirahat panjang. Tidak ada beban, tidak ada hisab, tidak ada rasa sakit. Namun, kenyataannya tidaklah demikian. Kematian bukan akhir perjalanan, melainkan pintu menuju kehidupan yang sebenarnya—kehidupan akhirat.

 

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati, dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu…” (QS. Ali Imran: 185).

Di hadapan kematian, semua kemewahan dunia menjadi remeh, semua jabatan menjadi fana, semua harta menjadi tidak bernilai. Yang tersisa hanyalah amal. Bukan apa yang kita kumpulkan, melainkan apa yang kita lakukan. Bukan apa yang kita tinggalkan, melainkan apa yang kita persembahkan untuk kehidupan setelahnya.

 

Kematian tidak pernah menunggu kesiapan kita. Ia datang dalam senyap, kadang tanpa tanda, kadang tanpa aba-aba. Sebuah peringatan yang setiap hari kita lihat di sekitar kita: ada yang pergi di usia muda, ada yang berpulang di kala senja. Sungguh, setiap kali kita mendengar kabar duka, itu sejatinya bukan hanya tentang mereka—itu adalah pesan untuk kita yang masih hidup: bahwa giliran kita pasti akan tiba.

 

Para ulama salaf pun sering mengingatkan umat dengan kalimat-kalimat yang menusuk hati:

  • Al-Hasan Al-Bashri berkata: “Wahai anak Adam, engkau hanyalah kumpulan hari. Setiap kali berlalu satu hari, maka berkuranglah sebagian dari dirimu.”

  • Umar bin Abdul Aziz pernah menulis surat: “Ketahuilah, siang dan malam bekerja untuk menghabisi umurmu. Maka bekerjalah engkau untuk akhiratmu.”

  • Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Jika engkau berada di waktu sore, jangan tunggu hingga pagi. Jika engkau berada di waktu pagi, jangan tunggu hingga sore. Ambillah kesempatan sehatmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.”

 

Kata-kata mereka adalah gema kebenaran yang sejalan dengan bisikan kematian. Sebuah seruan lembut namun kuat agar manusia sadar, bahwa hidup ini bukan tempat tinggal, melainkan tempat persinggahan.

 

Maka, renungkanlah… Apa yang akan kita bawa saat berdiri sendiri di hadapan Allah? Saat lidah terdiam, saat tangan dan kaki yang berbicara, saat amal baik dan buruk menunggu untuk ditimbang.

 

Kematian adalah nasihat tanpa kata, guru tanpa suara, dan pengingat yang paling nyata. Ia menyapa dengan lembut sekaligus mengguncang hati yang lalai. Jika hari ini kita masih bisa bernafas, masih bisa bertaubat, masih bisa berbuat baik—maka itu adalah nikmat besar sebelum pintu kesempatan ditutup.

 

Karena setelah mati, kita akan dibangkitkan. Dan di hari itu, tidak ada tempat lari selain kepada Allah.

Mari jadikan kematian bukan sekadar kabar duka, tapi nasihat yang menyadarkan kita untuk menyiapkan bekal terbaik.