Adab Idul Adha: Tidak Makan Sebelum Shalat, Apa Hikmahnya?

Hari Raya Idul Adha adalah momentum besar dalam kehidupan seorang Muslim. Ia bukan sekadar hari raya biasa, tetapi perayaan penuh makna yang menandai ketundukan, pengorbanan, dan ketaatan kepada Allah ﷻ. Di dalamnya, kita diingatkan kembali pada kisah agung Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ‘alaihimassalam yang menjadi simbol kepatuhan mutlak terhadap perintah Rabb semesta alam.

 

Salah satu sunnah yang sering kali luput dari perhatian kita pada hari besar ini adalah tidak makan sebelum melaksanakan shalat Idul Adha. Sebuah adab yang tampak sederhana, namun menyimpan pelajaran yang dalam tentang penghambaan, pengorbanan, dan kesungguhan dalam menyambut perintah Allah ﷻ.

 

Sunnah Rasulullah ﷺ

Dalam sebuah riwayat dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

“Rasulullah ﷺ tidak keluar (untuk shalat Id) pada hari Idul Fitri hingga beliau makan, dan beliau tidak makan pada hari Idul Adha hingga beliau pulang dari shalat.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, hasan)

 

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ mempraktikkan dua pendekatan berbeda pada dua hari raya umat Islam. Pada Idul Fitri, beliau memulai hari dengan makan sebagai bentuk penegasan bahwa masa puasa telah usai. Sebaliknya, pada Idul Adha, beliau menunda makan hingga selesai shalat dan menyembelih hewan kurban, seolah menunjukkan bahwa puncak ibadah Idul Adha bukanlah pada perayaan, melainkan pada pengorbanan.

 

Makna di Balik Menahan Diri

Menahan diri dari makan sebelum shalat Idul Adha bukanlah semata-mata bentuk kedisiplinan atau aturan teknis. Ia adalah simbol dari penundaan kesenangan dunia demi mendahulukan ketaatan kepada Allah.

 

Dalam hidup sehari-hari, kita sering kali tergesa-gesa memenuhi kebutuhan fisik—lapar, haus, kenyamanan. Tapi Idul Adha mengajarkan, bahwa sebelum perut kita terisi, hati kita terlebih dahulu harus penuh dengan kepasrahan dan keikhlasan. Kita diajak untuk menahan keinginan demi sesuatu yang lebih tinggi: ketaatan dan ketundukan kepada Allah.

 

Seperti Nabi Ibrahim yang rela menunda bahkan mengorbankan sesuatu yang paling ia cintai, yakni anaknya sendiri, demi perintah Allah, demikian pula seorang Muslim di pagi Idul Adha: ia menahan makan, bukan karena tidak ada makanan, tapi karena ingin mendahulukan yang lebih utama—shalat dan penyembelihan kurban sebagai bentuk ketaatan.

 

Keselarasan dengan Hikmah Qurban

Tindakan ini juga selaras dengan makna qurban itu sendiri. Qurban berasal dari kata “qaruba” yang artinya mendekat. Dengan berqurban, seseorang berharap dapat mendekatkan diri kepada Allah, bukan hanya secara fisik tetapi secara rohani.

 

Maka menunda makan sebelum shalat dan sebelum daging kurban dipotong adalah bentuk penghormatan terhadap ibadah itu sendiri. Kita tidak sekadar memakan daging, tapi kita menanti hingga ibadah itu sempurna—shalat dilaksanakan, kurban dilakukan—baru setelah itu kita nikmati hasilnya, sebagai nikmat yang telah diberkahi.

 

Meneladani Nabi dan Menghidupkan Sunnah

Terkadang, kita menganggap hal-hal kecil dalam sunnah sebagai sesuatu yang bisa diabaikan. Namun sejatinya, setiap sunnah Nabi ﷺ mengandung keberkahan dan cahaya hidayah. Dalam perkara menunda makan ini, kita tidak hanya mengikuti rutinitas, tetapi menghidupkan kembali jejak kenabian.

 

Betapa banyak sunnah yang telah terlupakan, padahal sabda Nabi ﷺ:

“Barang siapa yang menghidupkan sunnahku di tengah umatku yang telah rusak, maka ia akan mendapat pahala seperti pahala seratus orang yang mati syahid.” (HR. Baihaqi, hasan menurut sebagian ulama)

 

Refleksi Diri di Pagi Raya

Saat kita bangun di pagi Idul Adha dan mencium aroma makanan yang telah disiapkan, di situlah ujian kecil dimulai. Mampukah kita menahan diri sejenak, untuk mendahulukan panggilan Allah, berdiri dalam shalat, bertakbir, bertafakur di hadapan-Nya, lalu menyaksikan hewan kurban yang menjadi pengingat bahwa setiap nikmat duniawi pun harus kita relakan jika Allah memintanya?

 

Kita sedang dilatih. Bukan hanya untuk menunda sarapan, tetapi untuk menunda ego, keinginan, dan hawa nafsu demi perintah yang lebih mulia.

 

Merayakan dengan Kesadaran

Idul Adha bukan hanya tentang berpesta dengan daging kurban. Ia adalah momentum untuk menyentuh dimensi spiritual terdalam dari pengorbanan, meneladani Nabi Ibrahim dan Ismail, serta mengikuti sunnah Rasulullah ﷺ walau tampak kecil sekalipun.

 

Tidak makan sebelum shalat Idul Adha mungkin terlihat sepele, tapi ketika dilakukan dengan kesadaran dan niat karena Allah, ia bisa menjadi ibadah besar di mata-Nya.

“Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Ma’idah: 27)

Semoga setiap langkah kita di pagi hari raya dipenuhi dengan ketakwaan, dan semoga Allah menerima setiap amal kita, sekecil apapun itu, jika ia dilakukan dengan hati yang tulus karena-Nya.