Dalam perjalanan hidup, setiap manusia pasti melewati fase-fase pencarian—mencari makna, tujuan, dan ketenangan. Dunia menawarkan banyak jawaban: harta, popularitas, prestasi, bahkan relasi. Namun, seiring berjalannya waktu, kita mulai menyadari bahwa semua itu bersifat sementara. Ada ruang dalam hati yang tak bisa diisi oleh dunia, seberapa pun gemerlapnya. Di saat itulah, sebagian dari kita mulai menoleh ke arah yang lama terlupakan: Kalamullah, Al-Qur’an yang agung.
Al-Qur’an bukan sekadar kitab suci yang dihafal dan dilombakan. Ia adalah petunjuk hidup, cahaya yang menuntun dari gelap kepada terang. Namun, kedekatan kita dengan Al-Qur’an sering kali terbatas pada momen-momen tertentu—saat bulan Ramadhan, saat berduka, atau saat mengalami titik nadir dalam hidup. Padahal, hakikatnya, Al-Qur’an hadir untuk menjadi teman setia dalam setiap nafas kehidupan, bukan hanya saat kita terjatuh, tapi juga ketika kita berdiri, melangkah, dan bahkan saat kita lupa.
Kesetiaan kepada Al-Qur’an bukan hanya berbicara tentang kemampuan membaca atau menghafalnya, tetapi tentang menjadikannya sahabat jiwa, tempat kembali ketika pikiran buntu dan hati sesak. Ia adalah tali penghubung antara bumi dan langit, antara hamba dan Tuhannya, antara pencarian dan jawaban.
Tulisan ini bukan kisah tentang orang yang sempurna bersama Al-Qur’an, tapi kisah nyata seorang hamba yang pernah jauh, lalu kembali. Yang pernah lalai, lalu disapa oleh ayat-ayat-Nya. Sebuah kisah tentang perjalanan setia bersama Al-Qur’an—kisah yang masih terus ditulis, dan semoga tak pernah usang oleh waktu.
Awal yang Sering Terlambat
Aku tidak tumbuh dalam lingkungan yang asing terhadap Al-Qur’an. Seperti banyak orang lainnya, aku diajarkan membaca Al-Qur’an sejak kecil. Namun, saat itu ia hanyalah bacaan rutin. Tak jarang ia seperti tugas yang harus diselesaikan, bukan pertemuan yang dirindukan. Aku tahu huruf-hurufnya, melafalkannya dengan cukup baik, bahkan kadang-kadang ikut lomba. Tapi aku belum benar-benar mengenalnya.
Kesibukan dunia, ambisi pribadi, dan rasa puas yang semu menjauhkan aku dari mushaf yang pernah akrab di masa kecil. Aku mulai memilih bacaan lain, layar lain, dan suara lain untuk mengisi waktuku. Aku berpikir bahwa hidup adalah soal bergerak dan mengejar, bukan soal diam dan merenung. Hingga satu ketika, hidup memperlihatkan wajah lainnya—wajah kehilangan, kekecewaan, dan kehampaan.
Di saat itu, aku kembali membuka mushaf yang sudah berdebu. Dan di situlah awal dari segalanya.
Al-Qur’an yang Bicara Kepadaku
Tak butuh waktu lama bagiku untuk merasa ditampar oleh ayat-ayat-Nya. Kata-kata dalam mushaf itu bukan hanya tulisan kuno yang dilagukan, tapi seolah suara lembut yang langsung menyentuh hatiku. Seakan Allah sedang benar-benar berbicara padaku. “Tidakkah kamu mengambil pelajaran?” “Apakah kamu mengira akan dibiarkan begitu saja?” “Bukankah hati ini butuh petunjuk?”
Aku mulai membaca bukan karena target, tapi karena rindu. Bukan karena kewajiban, tapi karena butuh. Setiap huruf yang kubaca seperti menghidupkan kembali sisi-sisi hatiku yang lama mati. Aku menangis di hadapan ayat-ayat-Nya. Menemukan diriku yang hilang dalam setiap kalimat yang sebelumnya hanya terdengar biasa.
Kesetiaan yang Harus Dijaga
Setia bersama Al-Qur’an bukan perkara mudah. Dunia selalu datang membawa pengalih perhatian. Tugas, ponsel, media sosial, dan segunung kesibukan bisa dengan mudah menjauhkan tangan dari mushaf. Tapi aku belajar, bahwa setia itu bukan berarti tidak pernah lalai, melainkan selalu kembali setelah lalai.
Aku membuat komitmen untuk bersama Al-Qur’an setiap hari. Tidak harus lama, tapi harus ada. Kadang hanya satu halaman, kadang satu juz. Kadang hanya satu ayat, tapi aku usahakan merenungkannya. Aku mulai hafal ayat-ayat yang dekat dengan kehidupanku, menuliskannya, bahkan membacanya di sela aktivitas.
Aku tidak ingin Al-Qur’an hanya tinggal di rak, atau hanya dibuka saat duka datang. Aku ingin ia hidup dalam doaku, dalam akhlakku, dalam cara pandangku. Aku ingin ia menjadi teman setia yang menggandengku menuju surga, bukan hanya saksi diam di hari kiamat kelak.
Mereka yang Dekat dengan Al-Qur’an
Aku semakin yakin dengan pilihanku untuk setia, karena aku melihat kehidupan orang-orang yang juga memilih jalan ini. Ada ketenangan dalam wajah mereka. Ada kejernihan dalam hati mereka. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Aku ingin menjadi bagian dari golongan itu. Meskipun mungkin aku belum pandai mengajarkan, tapi aku bisa terus belajar. Meskipun belum banyak yang kuhafal, tapi aku bisa terus menambah. Meskipun belum sempurna memahami, tapi aku bisa terus membuka diri.
Karena setia bukan soal hasil langsung, tapi soal istiqamah dalam proses.
Al-Qur’an, Sahabat yang Tak Pernah Mengkhianati
Hidup ini akan terus berubah. Orang datang dan pergi. Perasaan naik dan turun. Rezeki bertambah dan berkurang. Tapi Al-Qur’an tetap sama. Isinya tidak berubah sejak diturunkan, dan cahayanya tak pernah redup.
Kesetiaanku kepada Al-Qur’an bukan bentuk pengorbanan, tapi justru anugerah. Ia tak butuh aku, akulah yang membutuhkannya. Dan selama aku masih bisa membaca, menghafal, mengamalkan, dan mencintainya—aku ingin menjadikan Al-Qur’an sebagai bagian dari kisah hidupku. Kisah kesetiaan yang tak pernah usang.