Allah Memberi Tanpa Henti, Namun Kita Masih Menolak Aturan-Nya

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menerima begitu saja pepatah yang mengatakan: “Donatur boleh ngatur.” Logikanya sederhana: kalau seseorang sudah memberi, wajar bila ia punya hak untuk mengatur atau mengarahkan. Seorang donatur yang mendanai sebuah program tentu boleh memberikan arahan agar program tersebut sesuai dengan tujuannya. Dan kita biasanya menerima dengan lapang dada, bahkan dengan rasa terima kasih.

 

Namun, pernahkah kita berpikir lebih dalam? Kalau manusia yang memberi sedikit saja sudah boleh mengatur, lalu bagaimana dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberi segalanya? Bukankah semua yang kita miliki berasal dari-Nya?

  • Udara yang kita hirup setiap detik, siapa yang memberinya?
  • Rezeki yang masuk ke mulut kita, siapa yang menyiapkannya?
  • Detak jantung yang terus bekerja tanpa kita perintah, siapa yang mengendalikannya?
  • Langit yang kokoh, bumi yang luas, siang dan malam yang bergantian, siapa yang menata semuanya?

Tidak ada satu pun pemberian yang lebih besar daripada pemberian Allah. Bahkan hidup kita sendiri adalah pemberian-Nya. Maka pertanyaannya: apakah pantas jika kita menerima aturan manusia, tapi enggan menerima aturan dari Allah?

 

Mengapa Kita Patuh pada Manusia tapi Lalai pada Allah?

Kita rela mematuhi aturan kantor karena ada gaji. Kita tunduk pada peraturan lalu lintas karena takut kena tilang. Kita ikut perintah bos, guru, atau orang tua, karena mereka punya peran dalam hidup kita.

 

Tapi ketika Allah memberi aturan lewat Al-Qur’an dan sunnah, sering kali kita malah menunda, mencari alasan, atau bahkan menolak. Seolah-olah aturan Allah terlalu berat. Seakan-akan ketaatan kepada-Nya merugikan kita, padahal sejatinya aturan Allah adalah jalan menuju kebaikan, keamanan, dan keselamatan dunia-akhirat.

 

Allah tidak pernah menurunkan aturan untuk menyulitkan hamba-Nya. Semua yang Allah perintahkan, pasti ada maslahatnya. Semua yang Allah larang, pasti ada mudaratnya. Tapi karena hati kita lemah, nafsu kita menutupi, maka aturan itu terasa berat.

 

Allah Tidak Butuh, Kitalah yang Butuh

Kalau kita jujur, Allah sama sekali tidak butuh dengan ketaatan kita. Dia tidak berkurang sedikit pun jika seluruh manusia durhaka, dan tidak bertambah sedikit pun jika seluruh manusia taat.

 

Kitalah yang butuh. Taat itu bukan untuk Allah, tapi untuk kita sendiri.

  • Shalat bukan untuk Allah, tapi untuk menenangkan hati kita.
  • Puasa bukan untuk Allah, tapi untuk menyucikan diri kita.
  • Sedekah bukan untuk Allah, tapi untuk membersihkan harta kita.

Semua aturan Allah hakikatnya adalah “aturan kasih sayang.” Aturan agar kita tidak tersesat, agar kita tetap selamat, agar kita sampai ke surga.

 

Renungan untuk Hati

Saudaraku, kalau kita bisa tunduk pada aturan manusia karena pemberian yang sangat kecil, mengapa kita tidak tunduk pada Allah yang telah memberi segalanya?

 

Kalau kita rela diatur oleh bos karena takut kehilangan pekerjaan, mengapa kita tidak rela diatur Allah, padahal hidup dan mati kita ada di tangan-Nya?

 

Kalau kita bisa patuh pada polisi karena takut ditilang, mengapa kita tidak takut pada Allah, padahal siksa-Nya jauh lebih dahsyat dari sekadar surat tilang?

 

Hidup ini Singkat

Hidup ini singkat. Kita datang tanpa membawa apa-apa, dan akan kembali tanpa membawa apa-apa, kecuali amal. Maka jangan sampai kita sibuk tunduk pada aturan manusia, tapi lalai dari aturan Allah.

 

Tunduk pada Allah bukanlah kehilangan kebebasan, melainkan menemukan arah hidup yang sesungguhnya. Karena aturan Allah bukan untuk membatasi, tapi untuk menyelamatkan.