Antara Cinta dan Taat: Pengorbanan Nabi Ibrahim dan Makna Qurban

Menjelang datangnya Idul Adha, jutaan umat Islam di seluruh dunia kembali mengenang sebuah peristiwa agung yang melampaui ruang dan waktu: kisah pengorbanan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Sebuah kisah yang bukan sekedar narasi sejarah, tetapi cermin jernih dari makna cinta sejati kepada Allah—cinta yang menuntut pengorbanan, yang memurnikan niat, dan yang menundukkan segala ego di hadapan perintah Sang Maha Kuasa.

 

Kisah ini bermula dari seorang nabi yang telah lama mendambakan keturunan. Setelah bertahun-tahun doa dipanjatkan, akhirnya Allah mengaruniakan kepadanya seorang anak yang shalih, Ismail ‘alaihissalam. Kebahagiaan yang tak terlukiskan menyelimuti Nabi Ibrahim. Dalam diri Ismail, ia melihat harapan, kelanjutan dakwah, dan penyejuk hati setelah penantian panjang.

 

Namun di puncak cinta itu, datanglah perintah yang mengguncang hati seorang ayah: menyembelih anaknya sendiri.

 

Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!'” (QS. Ash-Shaffat: 102)

Perhatikan bagaimana Nabi Ibrahim menyampaikan perintah itu. Ia tidak memaksakan kehendak, tetapi justru melibatkan Ismail dalam percakapan yang penuh hikmah. Ini menunjukkan bahwa bahkan dalam perkara paling berat, Nabi Ibrahim tetap menjadi ayah yang penuh kasih dan bijak.

 

Respons Ismail pun menjadi bagian dari keajaiban spiritual kisah ini:

“Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102)

Bayangkan—seorang anak muda, dalam usia di mana kehidupan baru saja terbuka di hadapannya, justru menyambut perintah yang paling berat itu dengan penuh keikhlasan. Tidak ada penolakan. Tidak ada air mata protes. Hanya ketundukan. Ini adalah pelajaran besar tentang makna taat tanpa syarat, sesuatu yang semakin langka dalam dunia yang dipenuhi logika transaksional dan kepentingan pribadi.

 

Dan ketika keduanya telah menyerahkan diri sepenuhnya pada perintah Allah, datanglah pertolongan dari langit:

“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Ash-Shaffat: 107)

Inilah awal dari syariat qurban. Seekor hewan sembelihan sebagai bentuk simbolik dari penyembelihan ego, cinta dunia, dan kelekatan terhadap sesuatu yang bisa menyaingi cinta kepada Allah.

 

Lebih dari Sekedar Ritual

Hari ini, saat kita menyembelih hewan qurban, pertanyaannya bukan hanya “apakah hewan ini sah secara syariat?” tetapi juga “apakah aku telah menyembelih egoku, keangkuhanku, dan kecintaanku pada dunia yang berlebihan?”

 

Makna qurban bukan hanya darah dan daging. Allah menegaskan dalam Al-Qur’an:

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al-Hajj: 37)

Di sinilah titik temu antara cinta dan taat. Cinta kepada Allah menuntut pengorbanan. Dan ketaatan yang lahir dari cinta bukanlah keterpaksaan, tapi kerelaan. Nabi Ibrahim dan Ismail tidak sekadar menjalankan perintah, mereka menyerahkan hati mereka secara utuh. Tak ada keberatan, hanya kepasrahan kepada kehendak Ilahi.

 

Refleksi Diri Menjelang Idul Adha

Mari kita bertanya pada diri:

  • Siapa “Ismail” dalam hidup kita—hal yang paling kita cintai?
  • Apakah kita rela mengorbankan itu jika Allah memerintahkannya?
  • Apakah kita bersedia meninggalkan kesenangan, ambisi, atau bahkan rasa nyaman, demi mendekat kepada-Nya?

Qurban bukan soal banyaknya hewan yang disembelih, tapi seberapa dalam kita memaknai pengorbanan itu dalam kehidupan sehari-hari. Apakah kita telah menyembelih sifat sombong, dengki, kikir, atau keengganan untuk taat kepada perintah Allah?

 

Warisan Abadi

Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail adalah warisan abadi yang kita peringati setiap tahun, bukan untuk sekedar dikenang, tapi untuk diteladani. Dalam dunia yang sering mengukur nilai berdasarkan materi, pengorbanan mereka mengajarkan bahwa nilai sejati terletak pada keikhlasan dan ketundukan kepada Allah.

 

Semoga qurban kita tahun ini bukan hanya menyentuh kulit, tapi juga merobek tabir kelalaian hati. Semoga kita bisa menghidupkan kembali semangat cinta dan taat dalam kehidupan yang semakin sibuk dan jauh dari makna spiritual.