Setelah gema takbir Hari Raya Idul Adha menggema, setelah hewan kurban disembelih sebagai simbol ketaatan dan kepasrahan, banyak dari kita merasa bahwa rangkaian ibadah telah usai. Padahal, dalam kearifan Islam, Allah masih menghadiahkan tiga hari tambahan yang penuh makna dan keberkahan—itulah yang dikenal sebagai Hari-Hari Tasyriq. Tiga hari yang sering terlupakan ini sesungguhnya bukan hanya kelanjutan dari suasana Idul Adha, melainkan bagian penting dari struktur ibadah yang sarat dengan nilai spiritual dan sosial.
Hari Tasyriq bukan sekadar masa jeda setelah perayaan kurban. Ia adalah waktu istimewa yang Allah tetapkan untuk memperbanyak zikir, memperkuat rasa syukur, dan menumbuhkan kesadaran akan nikmat-nikmat yang sering kita abaikan. Bagi jamaah haji, ini adalah hari-hari melempar jumrah dan menyempurnakan manasik. Sementara bagi kaum Muslimin di seluruh dunia, ini adalah momen untuk menghidupkan hati dengan takbir, tahmid, dan refleksi mendalam atas makna pengorbanan.
Namun, betapa banyak dari kita yang melewati hari-hari ini tanpa menyadari keutamaannya. Padahal Rasulullah ﷺ telah menegaskan bahwa Hari Tasyriq adalah hari makan, minum, dan berdzikir kepada Allah. Di tengah hiruk-pikuk rutinitas setelah lebaran, hari-hari ini mengajak kita untuk berhenti sejenak, mengingat Allah, dan kembali pada tujuan hidup yang lebih tinggi.
Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi apa itu Hari Tasyriq secara lebih mendalam—dari asal-usul namanya, dalil-dalil syariat, amalan-amalan yang dianjurkan, hingga hikmah spiritual yang terkandung di dalamnya. Semoga dengan memahami Hari Tasyriq secara lebih utuh, kita dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya, bukan hanya sebagai sisa dari Idul Adha, tetapi sebagai bagian dari perjalanan ibadah yang utuh dan penuh makna.
Makna Hari Tasyriq
Secara bahasa, tasyriq berasal dari kata syarraqa—yang berarti “menjemur di bawah matahari.” Dalam tradisi Arab dahulu, setelah menyembelih hewan kurban pada Hari Nahr (10 Dzulhijjah), mereka akan memotong daging kurban dan menjemurnya di bawah terik matahari agar awet dan bisa disimpan dalam waktu lama. Dari sinilah istilah “Hari Tasyriq” muncul.
Namun dalam syariat Islam, Hari Tasyriq bukan sekadar waktu untuk menjemur daging. Ia adalah hari-hari ibadah, zikir, dan refleksi, serta momentum memperpanjang rasa syukur atas nikmat dan pengampunan yang Allah berikan setelah puncak ibadah haji di Arafah dan kurban pada Hari Raya Idul Adha.
Dalil dan Keutamaan Hari Tasyriq
Hari-hari Tasyriq disebutkan secara khusus dalam Al-Qur’an:
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang.” (QS. Al-Baqarah: 203)
Mayoritas mufassir berpendapat bahwa “beberapa hari yang berbilang” yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Hari-Hari Tasyriq. Dalam hadits shahih, Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Hari-hari Tasyriq adalah hari makan, minum, dan berdzikir kepada Allah.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa Hari Tasyriq adalah hari-hari istimewa yang tidak disyariatkan untuk berpuasa, melainkan untuk bersyukur, bergembira, dan memperbanyak zikir.
Tuntunan Ibadah di Hari Tasyriq
Meski tidak ada ibadah khusus seperti puasa atau shalat tertentu, Islam memberikan beberapa petunjuk tentang amal saleh yang bisa dan sebaiknya dilakukan selama Hari Tasyriq:
1. Melanjutkan Takbir Muthlaq dan Muqayyad
Takbir Idul Adha tidak berhenti pada tanggal 10 Dzulhijjah, tapi berlanjut hingga akhir Hari Tasyriq. Terdapat dua jenis takbir:
- Takbir Muthlaq: Takbir yang dibaca secara umum kapan saja, baik di rumah, jalan, atau pasar.
- Takbir Muqayyad: Takbir yang dibaca setelah shalat fardhu.
Takbir ini dimulai sejak Subuh 9 Dzulhijjah (hari Arafah) hingga Asar 13 Dzulhijjah.
2. Menjaga Zikir dan Doa
Hari-hari ini adalah hari untuk menghidupkan hati dengan menyebut nama Allah, sebagaimana disebut dalam Al-Baqarah 203. Zikir yang dianjurkan meliputi:
- Takbir, tahmid, tahlil, tasbih
- Membaca doa-doa yang diajarkan Nabi
- Memohon ampunan dan keteguhan iman
3. Memakan Daging Kurban
Jika berkurban, maka dianjurkan untuk ikut menikmati sebagian dari daging kurban. Ini adalah bentuk kesyukuran atas nikmat rezeki dan ibadah yang Allah berikan.
4. Tidak Berpuasa
Rasulullah ﷺ secara tegas melarang berpuasa pada Hari Tasyriq, sebagaimana dalam hadits:
“Hari Arafah, Hari Nahr, dan hari-hari Tasyriq adalah hari raya kita—umat Islam. Itu adalah hari makan dan minum.” (HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i)
Larangan ini menunjukkan bahwa Hari Tasyriq adalah hari kegembiraan, bukan hari untuk menahan diri dari kenikmatan halal seperti makanan.
5. Bagi Jamaah Haji: Melontar Jumrah
Bagi yang sedang menunaikan ibadah haji, Hari Tasyriq adalah waktu melaksanakan lempar jumrah di Mina. Ini bagian dari rangkaian manasik haji yang penting dan sarat makna simbolik tentang menolak godaan setan.
Hikmah di Balik Hari Tasyriq
Hari Tasyriq mengajarkan kepada kita untuk tidak terburu-buru melupakan nikmat dan pengampunan Allah. Setelah puncak spiritual seperti Idul Adha, Islam justru memberi waktu “perpanjangan rasa syukur” selama tiga hari. Di saat orang kembali pada rutinitas duniawi, Allah memerintahkan kita untuk tetap berdzikir dan mengingat-Nya.
Hari-hari ini juga memberi pelajaran bahwa ibadah bukan hanya tentang menahan diri, tapi juga tentang menikmati nikmat Allah dengan penuh kesadaran. Makan dan minum yang biasa dilakukan sehari-hari, di Hari Tasyriq menjadi ibadah bila disertai rasa syukur.
Pelengkap Hari Raya
Hari Tasyriq bukan hanya pelengkap dari Hari Raya Idul Adha. Ia adalah bagian dari struktur waktu yang Allah siapkan untuk menyempurnakan ibadah, memperpanjang rasa syukur, dan membiasakan hati dalam zikir. Mari kita manfaatkan tiga hari ini bukan sekadar untuk beristirahat dari kesibukan, tetapi sebagai momentum menyadari betapa besar nikmat Allah atas hidup kita.
“Barang siapa yang tidak pandai bersyukur dalam kelapangan, niscaya ia akan sulit bersyukur dalam kesempitan.”
Semoga Allah menerima ibadah kurban kita, mengampuni dosa-dosa kita, dan menghidupkan hati kita dengan zikir dalam Hari-Hari Tasyriq yang mulia ini.