Di tengah gemuruh kehidupan modern yang serba cepat, hubungan antar manusia kian merenggang. Kita hidup berdampingan dalam deretan rumah yang rapat, namun seringkali terasing satu sama lain. Pagar yang tinggi, jadwal yang padat, dan gawai yang tak pernah lepas dari genggaman membuat kita semakin jauh dari sosok yang paling dekat secara fisik—tetangga kita sendiri.
Padahal, dalam ajaran Islam, tetangga memiliki kedudukan yang sangat mulia. Ia bukan sekadar orang yang tinggal di sebelah rumah, melainkan bagian dari lingkaran sosial yang wajib kita rawat. Rasulullah ﷺ menjadikan hubungan dengan tetangga sebagai tolok ukur keimanan seseorang. Kebaikan yang dimulai dari rumah, lalu menjalar ke rumah-rumah di sekelilingnya, adalah cermin dari akhlak Islami yang sejati.
Tulisan ini mengajak kita menengok kembali nilai-nilai luhur yang diajarkan Islam tentang bertetangga. Tentang cinta yang tak selalu berbentuk besar, tapi hadir dalam perhatian kecil. Tentang pahala yang tak selalu diperoleh di masjid, tapi bisa jadi datang dari senyum, salam, atau semangkuk kuah yang dibagi kepada tetangga.
Tetangga dalam Pandangan Islam
Islam tidak hanya mengatur hubungan kita dengan Allah, tetapi juga dengan manusia. Salah satu hubungan sosial yang sangat ditekankan adalah dengan tetangga. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!”
Para sahabat bertanya, “Siapakah itu, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini bukan hanya peringatan, tetapi juga seruan untuk menyadari bahwa hubungan baik dengan tetangga adalah bagian dari keimanan. Jika akhlak kita tidak memberi rasa aman kepada orang terdekat secara geografis, bagaimana mungkin kita mengaku beriman?
Cinta yang Dimulai dari Lingkungan Terdekat
Cinta dalam Islam bukan hanya sebatas kata atau perasaan, tapi tindakan nyata. Memberi salam, menebar senyum, membantu saat mereka sakit, turut bersedih saat musibah, dan berbagi saat ada rezeki. Semua itu adalah bentuk cinta yang diajarkan oleh Islam.
Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Wahai Abu Dzar, jika engkau memasak kuah, maka perbanyaklah airnya dan perhatikan tetanggamu.” (HR. Muslim)
Betapa indahnya ajaran ini. Bahkan dalam urusan dapur, Islam mengajarkan kita untuk tidak melupakan tetangga. Ini bukan soal nilai materi, tapi soal nilai kepedulian.
Tetangga adalah Cermin Diri Kita
Sering kali kita menilai kesalehan dari ibadah-ibadah individu: salat malam, puasa sunnah, atau bacaan Al-Qur’an. Namun Rasulullah ﷺ menunjukkan indikator lain yang tak kalah penting: bagaimana tanggapan tetangga terhadap kita.
Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang seorang wanita yang rajin beribadah, tetapi menyakiti tetangganya. Rasul menjawab:
“Dia di neraka.”
Lalu disebutkan wanita lain yang ibadahnya biasa saja, tetapi baik kepada tetangganya. Rasul menjawab:
“Dia di surga.”
(HR. Ahmad dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad)
Betapa besar nilai berbuat baik kepada tetangga, hingga bisa mengangkat seseorang ke surga walau ibadahnya biasa. Karena sejatinya, ibadah yang baik akan terlihat dari akhlak yang terpancar dalam kehidupan sosial.
Tantangan Zaman Modern
Di era digital, manusia makin sibuk menatap layar daripada menatap wajah tetangga. Pagar rumah semakin tinggi, namun komunikasi semakin rendah. Kita tahu status media sosial orang di luar kota, tapi tak tahu kabar tetangga di sebelah rumah.
Padahal, Islam datang dengan pesan keseimbangan. Kita boleh berinteraksi dengan dunia luar, tapi jangan lupakan dunia nyata di sekitar kita. Jangan sampai tetangga sakit, lapar, atau kesepian tanpa kita tahu. Bukankah itu bisa jadi tanda hati yang mulai keras?
Langkah Kecil, Dampak Besar
Mulailah dari yang sederhana. Sapaan hangat setiap pagi. Memberi senyum saat berpapasan. Menanyakan kabar saat lama tak terlihat. Menawarkan bantuan saat mereka sedang mengangkat barang. Atau sekadar mengirimkan makanan yang kita masak lebih.
Langkah-langkah kecil ini mungkin tampak remeh, tapi bisa menjadi benih cinta yang tumbuh besar. Karena cinta dalam Islam bukan hanya milik keluarga inti, tapi harus menjalar ke sekeliling, dari rumah ke rumah.
Menjadi Tetangga yang Dicintai Allah
Mari kita renungkan: jika semua orang menjadi tetangga yang baik, betapa damainya lingkungan kita. Tidak ada prasangka, tidak ada permusuhan, tidak ada saling curiga. Hanya kebaikan yang beredar dari satu rumah ke rumah lainnya. Inilah bentuk kecil dari masyarakat madani yang pernah ditegakkan Rasulullah ﷺ di Madinah.
Dalam kehidupan yang sementara ini, jadilah tetangga yang membawa rahmat. Karena siapa tahu, jalan menuju surga bukan melalui mimbar, tapi melalui pintu rumah tetangga.