Dari Timur ke Barat: Ketika Persaudaraan Menyatukan Umat Manusia

Dalam sejarah panjang umat manusia, ada satu nilai yang tidak pernah lekang dimakan waktu: persaudaraan. Ia melintasi batas bangsa, warna kulit, bahasa, dan suku. Ia hadir di setiap zaman, di setiap tempat di muka bumi ini—mulai dari Timur yang jauh hingga Barat yang luas. Persaudaraan adalah fitrah manusia yang ditanamkan Allah dalam hati tiap insan sejak awal penciptaannya. Tidak peduli betapa jauhnya jarak, atau berbedanya budaya, suara persaudaraan tetap menggema mengajak manusia untuk saling mengenal, memahami, dan mengasihi.

 

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin menegaskan hal ini dengan indah. Bahwa seluruh manusia berasal dari satu bapak dan satu ibu, yaitu Adam dan Hawa. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13:

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”

Ayat ini adalah deklarasi universal bahwa persaudaraan manusia melampaui batas-batas geografis dan identitas duniawi.

 

Persaudaraan Adalah Ruh Kemanusiaan

Bila kita renungkan, apa yang membuat seseorang tergerak menolong saudaranya di Palestina, di Gaza, di Suriah, di Rohingya, padahal mereka tak pernah bertemu secara langsung? Jawabannya adalah karena ruh persaudaraan yang ditanamkan Allah di hati kaum beriman. Islam mengajarkan bahwa setiap mukmin adalah saudara bagi mukmin lainnya, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:

“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak menzaliminya dan tidak menyerahkannya (kepada musuh).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Inilah fondasi ikatan suci yang tidak terikat oleh wilayah, suku, atau warna kulit. Baik mereka tinggal di pelosok desa Indonesia, di gurun Sahara, di kota-kota Eropa, atau di negeri-negeri Barat, hati mereka terhubung dalam satu simpul ukhuwah imaniyah.

 

Islam Menghapus Sekat Wilayah

Dalam sejarah Islam, kita menyaksikan betapa perbedaan bangsa, warna kulit, dan bahasa tidak pernah menjadi penghalang untuk bersatu. Lihatlah Bilal bin Rabah, seorang budak hitam dari Habasyah yang diangkat menjadi muadzin Rasulullah, posisi mulia yang tidak dipandang dari asal keturunan, melainkan dari keimanan. Atau Salman Al-Farisi dari Persia, yang disebut sebagai “keluarga Rasulullah” karena keutamaannya. Bahkan Suhail bin Amr dari Quraisy pun akhirnya menjadi bagian dari persaudaraan Islam setelah masuk Islam dengan tulus.

 

Sahabat Nabi berasal dari berbagai wilayah: ada dari Yaman, Persia, Romawi, Afrika, bahkan India. Rasulullah menyatukan hati mereka semua di bawah panji tauhid, sehingga mereka merasa lebih dekat satu sama lain daripada dengan saudara sekandung yang kafir.

 

Ukhuwah Islamiyah mengajarkan bahwa sejauh apa pun jarak fisik, hati-hati orang beriman tetap terhubung. Seperti air sungai yang mengalir menuju satu samudera, hati mereka berkumpul dalam kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya.

 

Dunia Modern: Saat Sekat Geografi Menipis

Kini di abad ke-21, batas wilayah semakin tipis oleh kemajuan teknologi. Kita dapat berbicara, berbagi, bahkan bekerja sama dengan saudara seiman di belahan dunia manapun hanya lewat layar kecil di genggaman tangan. Sayangnya, kemudahan ini tidak selalu membawa kedekatan hati. Justru kerap muncul jarak batin, karena persaudaraan hakiki tak dibangun lewat teknologi, melainkan lewat iman, kasih sayang, dan kepedulian.

 

Bukti nyata ukhuwah lintas batas bisa kita saksikan di saat dunia Islam menggalang bantuan untuk Palestina, Suriah, atau wilayah-wilayah tertindas lainnya. Saat kaum Muslimin bersatu dalam doa, harta, bahkan jiwa demi membela kehormatan Islam dan kaum tertindas. Hati mereka bergetar karena rasa satu tubuh, sebagaimana sabda Nabi:

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi adalah seperti satu tubuh; jika satu anggota tubuh merasakan sakit, maka seluruh tubuh akan turut merasakan demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Persaudaraan Universal: Bukan Hanya Antar Muslim

Islam juga mengajarkan persaudaraan universal dalam kemanusiaan. Dalam piagam Madinah, Rasulullah menyatukan kaum Muslimin dengan kaum Yahudi dan musyrikin dalam satu komunitas yang diatur hak dan kewajibannya. Ini menunjukkan bahwa Islam mengajarkan persaudaraan atas dasar kemanusiaan juga, selama tidak melanggar prinsip akidah.

 

Persaudaraan ini tampak ketika Muslim menolong non-Muslim yang tertindas, menjaga hak-hak mereka, dan berlaku adil. Islam menolak fanatisme buta yang mengutamakan golongan sendiri di atas kebenaran dan keadilan.

 

Merajut Persaudaraan, Menyatukan Dunia

Hari ini, umat manusia menghadapi banyak tantangan: konflik, perpecahan, perang, diskriminasi. Dunia terbelah oleh batas negara, kepentingan politik, dan ekonomi. Namun ada satu jalan yang bisa menyembuhkan luka-luka peradaban ini: persaudaraan.

 

Persaudaraan yang tidak mengenal batas wilayah, tidak tunduk pada perbedaan ras, suku, atau warna kulit. Persaudaraan yang mengingatkan kita bahwa di hadapan Allah, semua manusia sama; yang membedakan hanya takwa dan amal shalih.

 

Maka tugas kaum Muslimin hari ini bukan hanya menjaga ukhuwah di lingkup kecil, tapi menyebarkan ruh persaudaraan ke seluruh dunia—dari Timur ke Barat. Menjadi pelopor perdamaian, keadilan, dan kasih sayang yang melampaui batas-batas bumi.

 

Jika persaudaraan ini terwujud, maka dunia akan merasakan kedamaian yang hakiki, sebagaimana Islam diutus sebagai rahmat bagi semesta alam.

“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS. Ali Imran: 103)