Diberi untuk Berbagi: Hikmah di Balik Harta yang Dititipkan Allah pada Kita

Dalam kehidupan yang serba cepat ini, manusia sering terjebak dalam upaya tanpa henti untuk mengumpulkan materi. Tak sedikit yang mengukur nilai diri berdasarkan banyaknya harta, rumah yang dimiliki, mobil yang dikendarai, atau saldo rekening yang menggunung. Namun, di tengah hiruk-pikuk mengejar dunia, Islam hadir mengingatkan kita bahwa semua yang kita miliki — termasuk harta — sejatinya bukanlah milik kita yang hakiki. Itu hanyalah titipan dari Allah, yang kelak akan ditanyakan: digunakan untuk apa, dari mana diperoleh, dan kepada siapa disalurkan.

 

Harta: Amanah, Bukan Kepemilikan Mutlak

Kita sering kali merasa bahwa karena kita bekerja keras, maka harta yang kita peroleh sepenuhnya adalah milik kita. Tak salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Islam mengajarkan bahwa segala yang kita dapatkan, meskipun melalui kerja keras dan usaha, pada hakikatnya terjadi karena izin dan kehendak Allah. Maka ketika kita memperoleh harta, itu adalah bentuk amanah, bukan kepemilikan absolut. Allah berfirman:

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya…” (QS. Al-Hadid: 7)

Perhatikan frasa “yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya”. Artinya, kita hanyalah pengelola, bukan pemilik sejati. Harta itu adalah alat, bukan tujuan. Ia adalah sarana, bukan segalanya.

 

Harta Sebagai Ujian Dunia

Dalam Al-Qur’an, Allah sering menyandingkan harta dan anak-anak sebagai ujian. Mengapa? Karena keduanya adalah hal yang paling mudah menyita perhatian manusia. Jika tidak hati-hati, cinta terhadap harta bisa membutakan, memalingkan dari kewajiban ibadah, bahkan memunculkan penyakit hati seperti kikir, sombong, atau tamak. Allah memperingatkan dalam QS. At-Takatsur:

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takatsur: 1–2)

Ayat ini menggambarkan bagaimana manusia sering terjebak dalam perlombaan duniawi — saling membandingkan harta, berlomba menimbun kekayaan — hingga lupa bahwa hidup ini sementara, dan tak satu pun yang akan dibawa mati kecuali amal.

 

Berbagi: Kunci Menjadikan Harta Bernilai Akhirat

Ketika kita menyadari bahwa harta adalah titipan, maka cara terbaik untuk memaknainya adalah dengan berbagi. Memberi kepada sesama bukan sekadar tindakan sosial, melainkan ibadah yang bernilai tinggi di sisi Allah. Sedekah tidak hanya menyucikan harta, tapi juga membersihkan hati dan mempererat rasa kemanusiaan. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sedekah tidak akan mengurangi harta. Allah akan menambahkan kemuliaan kepada hamba yang suka memaafkan, dan meninggikan derajat orang yang bersikap tawadhu’ karena Allah.” (HR. Muslim)

Inilah logika surgawi yang luar biasa: memberi tidak membuat kita berkurang, tapi justru bertambah.

 

Coba kita renungkan: saat kita menyisihkan sebagian rezeki untuk orang yang membutuhkan, Allah gantikan dengan keberkahan yang tidak selalu tampak secara angka, tapi terasa dalam bentuk ketenangan, kelancaran urusan, atau anak-anak yang tumbuh dalam kebaikan. Bahkan, bisa jadi harta yang sedikit tapi penuh keberkahan jauh lebih membahagiakan daripada kekayaan besar yang membawa kegelisahan.

 

Belajar dari Teladan Para Sahabat

Sahabat Nabi banyak yang sukses secara materi, namun mereka tidak pernah menjadikan harta sebagai pusat kehidupan mereka. Lihatlah Abdurrahman bin Auf, seorang pengusaha sukses yang dikenal sangat dermawan. Suatu hari, ia mendermakan kafilah dagang berisi ratusan unta dan muatan dagangannya demi kepentingan umat. Ketika ditanya, ia menjawab: “Aku ingin simpananku lebih banyak di akhirat daripada di dunia.”

 

Atau Utsman bin Affan, yang menyumbang ratusan dinar emas untuk membiayai Perang Tabuk dan membangun sumur untuk masyarakat Madinah. Mereka kaya, tetapi kekayaan tidak pernah membuat mereka lupa bahwa semuanya hanyalah titipan.

 

Kita bisa belajar dari mereka: menjadikan harta sebagai kendaraan menuju surga, bukan pengikat yang menjauhkan dari Allah.

 

Mengelola Titipan dengan Amanah dan Tujuan Mulia

Sebagai pemegang titipan, kita wajib mengelola harta dengan tanggung jawab dan niat yang benar. Artinya:

  • Memastikan harta diperoleh dengan cara halal.
  • Menunaikan zakat, infak, dan sedekah.
  • Menghindari sifat boros dan pamer.
  • Menyisihkan harta untuk membantu sesama: fakir miskin, anak yatim, pendidikan, dakwah, dan kebaikan lainnya.

Bahkan dalam hal konsumsi pribadi, Islam mengajarkan keseimbangan. Allah tidak melarang kita menikmati harta, tetapi jangan sampai melampaui batas. Rasulullah ﷺ sendiri hidup sederhana, padahal beliau bisa saja hidup dalam kemewahan. Sederhana bukan berarti miskin, tapi tahu batas dan tidak berlebih-lebihan.

 

Saatnya Menjadi Hamba yang Tahu Diri

Kita hidup di dunia hanya sebentar. Harta yang kita miliki bisa hilang dalam sekejap. Bencana, krisis, atau ajal bisa datang kapan saja. Maka selagi diberi kelapangan rezeki, jangan lupa untuk berbagi, karena itulah salah satu bukti syukur sejati. Jangan menunggu kaya untuk memberi, karena keberkahan tidak selalu terletak pada jumlah, tapi pada keikhlasan.

 

Ingatlah selalu bahwa kita hanya dititipi, bukan memiliki. Dan setiap titipan pasti akan ditanya. Maka gunakanlah harta kita untuk menjadi jalan kebaikan, bukan sumber kebinasaan.

“Harta hanyalah alat, bukan tujuan. Jika ia bisa membawamu lebih dekat kepada Allah, maka itulah harta yang benar-benar berharga.”

Setiap rezeki yang kita miliki sejatinya adalah titipan dari Allah, yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Maka sebelum harta itu pergi meninggalkan kita, alangkah baiknya jika ia lebih dulu kita titipkan di jalan kebaikan. Melalui Langkah Amanah, Sahabat Amanah dapat menyalurkan harta kepada mereka yang benar-benar membutuhkan — dengan transparansi, tanggung jawab, dan niat tulus untuk berbagi. Jadikan setiap rupiah bukan sekadar milik dunia, tapi bekal abadi menuju akhirat. Bersama Langkah Amanah, mari menebar manfaat, mengalirkan pahala, dan membuktikan bahwa kita siap menjaga titipan-Nya dengan amanah.