Fitrah Manusia: Jalan Menuju Pemahaman Tuhan dan Alam Semesta

Sejatinya setiap manusia, di manapun ia dilahirkan, apapun warna kulitnya, bahasa lidahnya, atau kebudayaannya—telah dikaruniai sesuatu yang sama: fitrah. Ia adalah benih kebenaran yang ditanam Allah ke dalam relung hati setiap insan. Fitrah ini bukan buatan manusia, bukan produk pendidikan atau tradisi, melainkan potensi dasar penciptaan yang mengarah kepada pengenalan akan Tuhan, pencarian makna, dan pemahaman hakikat semesta.

 

Allah berfirman:

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (QS. Ar-Rum: 30)

Ayat ini seolah menegaskan bahwa manusia terlahir dengan perangkat batin untuk mengenal kebenaran. Bahkan sebelum datang para nabi, sebelum ada kitab-kitab suci yang dibacakan, manusia telah menyimpan kesadaran dasar bahwa ada yang Maha Besar di balik tatanan alam ini. Fitrah inilah yang menjadi jalan awal menuju pemahaman Tuhan dan rahasia semesta.

 

Fitrah: Kompas Menuju Tuhan

Setiap manusia—bahkan seorang anak kecil yang belum mengenal istilah “agama”—secara alami bertanya: “Dari mana aku berasal? Untuk apa aku hidup? Siapa yang menciptakan ini semua?” Pertanyaan-pertanyaan inilah bukti fitrah yang masih hidup. Saat manusia menyaksikan langit malam yang bertabur bintang, gelombang laut yang tak pernah lelah bergulung, detak jantung yang teratur tanpa perintah, semua itu membisikkan satu pesan: ada Dzat yang Maha Mengatur.

 

Fitrah ini adalah kompas hati. Ia menunjuk ke satu arah—menuju Allah. Namun kompas ini bisa tersesat, bisa ditutupi kabut hawa nafsu, debu kebodohan, dan selimut dosa. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Betapa besar peran lingkungan, pendidikan, bahkan arus zaman dalam menutupi atau menyimpangkan fitrah ini. Namun, dasar penciptaan tetap ada; ia bisa bangkit kembali bila disapa kebenaran.

 

Fitrah dan Alam Semesta: Bahasa Kesatuan

Manusia diciptakan dari tanah, dan bumi ini adalah rumah pertamanya. Alam semesta bukan hanya tempat tinggal, tapi juga kitab terbuka (kitab kauniyah) yang bisa dibaca siapa pun. Dalam QS. Ali Imran: 190-191, Allah memuji hamba-hamba yang mau merenungi penciptaan langit dan bumi:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.”

Langit dan bumi adalah penjelas tentang keberadaan Tuhan. Keteraturan galaksi, hukum gravitasi, misteri DNA, keajaiban fotosintesis, semuanya mengantarkan hati manusia—jika mau berpikir—pada kesimpulan: “Ini semua pasti ciptaan Dzat Yang Maha Kuasa.”

 

Alam semesta berbicara dalam bahasa fitrah: ketertiban, kesempurnaan, kebijakan. Siapa yang mampu membaca bahasa ini, hatinya akan tergetar, jiwanya akan merunduk. Inilah jalan fitrah: menyatukan pemahaman tentang Tuhan dan rahasia semesta dalam satu pandangan utuh.

 

Fitrah yang Tertutup: Ketika Hawa Nafsu Menjadi Tirai

Namun, fitrah manusia tak selamanya bersinar jernih. Nafsu dunia, cinta harta, ambisi kekuasaan, perbudakan teknologi, semua bisa menebalkan tirai hati. Sehingga manusia memandang langit, tapi tak lagi melihat Sang Pencipta; membaca ilmu pengetahuan, tapi hanya untuk dunia; meneliti alam semesta, tapi kehilangan arah ketuhanan.

 

Inilah zaman di mana sains berdiri tanpa iman, di mana teknologi melaju tanpa akhlak, di mana fitrah manusia terpendam di balik debu peradaban modern. Padahal, sebagaimana gunung tetap punya puncak meski tertutup awan, fitrah manusia tetap ada meski diselimuti dosa.

 

Hanya dengan taubat, zikir, tadabbur, dan ibadah, kabut-kabut ini tersingkap. Maka terbukalah jalan menuju makrifatullah—pengenalan sejati kepada Allah—dan pemahaman yang benar terhadap alam semesta sebagai ayat-ayat-Nya.

 

Fitrah dan Tanggung Jawab Khalifah

Karena fitrah itulah, manusia diberi amanah besar: menjadi khalifah di bumi. Manusia bukan sekedar makhluk biologis; ia penjaga bumi, pengelola alam, pemakmur dunia. Fitrah menuntun manusia untuk tidak merusak lingkungan, tidak menumpahkan darah tanpa hak, tidak menyia-nyiakan nikmat alam.

 

Dalam diri setiap insan, telah tertanam rasa keadilan, dorongan untuk berbuat baik, keengganan berbuat zalim—semua adalah bagian dari fitrah. Bila fitrah ini dihidupkan, dunia akan damai. Namun bila fitrah dimatikan, lahirlah kerusakan sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…” (QS. Ar-Rum: 41)

 

Menuju Pemahaman Hakiki: Mengenal Diri, Mengenal Tuhan

Pepatah Arab berkata:

“Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu.”
(“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”)

Fitrah yang terjaga mengajak manusia merenungi jati dirinya: lemah, terbatas, fana. Kesadaran ini membuatnya mencari Yang Maha Kuat, Yang Maha Sempurna, Yang Maha Abadi—yaitu Allah. Maka perjalanan memahami Tuhan bermula dari kejujuran memahami diri.

 

Sebaliknya, siapa yang sombong, merasa mampu berdiri sendiri tanpa Tuhan, sejatinya ia telah melawan fitrah. Sebab fitrah mengajarkan ketundukan, kepasrahan, dan keinsafan.

 

Menghidupkan Kembali Jalan Fitrah

Di dunia yang penuh tipu daya ini, menjaga fitrah adalah perjuangan. Iman harus disiram dengan ilmu, hati dibersihkan dengan zikir, akal ditajamkan dengan tadabbur. Hanya dengan itulah fitrah akan bersinar kembali, menuntun manusia memahami Tuhan, mengenal hakikat alam semesta, dan menyadari tugas mulianya sebagai khalifah.

 

Sebagaimana pohon yang tumbuh dari benih fitrah, manusia akan berbuah amal saleh bila terus dipelihara dengan wahyu dan petunjuk kenabian. Dialah insan kamil—manusia paripurna—yang mengenal Tuhannya, memakmurkan bumi, dan menebar rahmat bagi alam semesta.

 

Semoga kita termasuk hamba yang terus berjalan di jalan fitrah, hingga bertemu Rabbul ‘Alamin dalam keadaan hati yang bersih.

“Hari di mana harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih (qalbun salim).” (QS. Asy-Syu’ara: 88-89)