Allahu Akbar… Allahu Akbar… Laa ilaaha illallah…
Allahu Akbar wa Lillaahil Hamd.
Gema takbir itu membelah langit Gaza yang kelabu. Tak ada pengeras suara. Tak ada lantunan indah dari menara-menara masjid yang kini telah rata bersama tanah. Namun suara itu tetap terdengar — dari hati yang tak hancur oleh perang, dari jiwa-jiwa yang menolak menyerah pada kehancuran.
Di pagi Ied yang biasanya dipenuhi keceriaan dan pakaian terbaik, warga Gaza bangkit dari tenda-tenda pengungsian dan reruntuhan rumah mereka. Bukan untuk menyambut tamu atau menyajikan hidangan, tapi untuk menyambung iman — bersujud di atas tanah berdebu, beralas puing-puing bangunan, dan berbaju seadanya. Mereka datang untuk satu tujuan: merayakan Ied bersama Allah, meski dunia telah meninggalkan mereka.
Sebuah Ied Tanpa Gemerlap, Tapi Penuh Makna
Hari raya Ied di Gaza bukan lagi tentang pakaian baru atau makanan manis. Ia telah berubah menjadi simbol kekuatan batin dan keteguhan iman. Di tempat lain, anak-anak berlomba mengenakan pakaian terbaik, membawa balon, dan menunggu amplop kecil berisi uang saku. Tapi di Gaza, anak-anak berbaris rapi di tanah lapang yang dulunya pasar, mengenakan pakaian bekas, sambil membawa boneka yang mereka temukan di reruntuhan. Mata mereka tak menuntut, tapi berharap. Mereka berharap dunia melihat, dunia mendengar.
Takbir mereka lirih namun dalam. Imam berdiri di depan, dengan luka terbuka di kakinya, membacakan khutbah Ied tentang kesabaran dan harapan. Bukan khutbah panjang yang penuh retorika, tapi khutbah yang lahir dari luka dan cinta yang mendalam pada Allah.
“Ini bukan akhir,” katanya. “Selama kita masih bisa bertakbir, selama kita masih bisa sujud, kita belum kalah.”
Iman yang Tidak Runtuh Meski Rumah Telah Rata
Apa yang membuat mereka tetap bangkit? Apa yang menahan mereka untuk tidak tenggelam dalam keputusasaan?
Jawabannya adalah niat yang jernih dan hati yang tertambat kepada Allah. Mereka memahami bahwa Islam bukan hanya tentang kemakmuran lahiriah, tapi tentang kekuatan batiniah. Seperti kata Rasulullah ﷺ dalam hadis yang pertama dari Arbain Nawawi, “Innamal a‘maalu binniyyaat” — Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.
Mereka tak punya apa-apa untuk dipersembahkan, selain niat yang murni: untuk tetap menyembah Allah meski dunia mencaci, untuk tetap bersujud meski tubuh lelah dan hati remuk.
Dan Allah Maha Melihat.
Dunia yang Sibuk, Gaza yang Terlupakan
Sementara itu, dunia terus bergerak. Pusat perbelanjaan di kota-kota besar dipenuhi pengunjung. Paket-paket hadiah dikirim. Makanan khas disajikan dengan piring-piring porselen terbaik. Lalu di Gaza, seorang ibu membagi satu roti untuk lima anaknya. Ia tersenyum, bukan karena kenyang, tapi karena masih bisa menyuapi mereka di pagi Ied.
Ironis? Ya. Tapi ini bukan hanya soal politik atau geopolitik. Ini adalah soal kemanusiaan. Gaza bukan hanya tentang konflik, tapi tentang manusia-manusia yang terus hidup dengan harga diri, iman, dan keyakinan bahwa Allah tidak pernah meninggalkan mereka.
Gema Takbir Itu Masih Ada
Hari ini, Gaza mengajarkan kita arti Ied yang sebenarnya — bukan sekadar perayaan, tapi penguatan ruhani. Bukan sekadar berpesta, tapi memperkuat makna. Bahwa bahkan di tengah kehancuran, seorang Muslim tetap bisa bersujud, tetap bisa bertakbir, tetap bisa tersenyum karena hatinya bersama Allah.
Gema takbir dari Gaza bukan hanya suara. Ia adalah pesan. Pesan kepada dunia bahwa masih ada orang-orang yang memegang teguh tauhid walau dunia mereka telah luluh lantak. Pesan bahwa Islam hidup, bukan karena fasilitas, tapi karena keyakinan.
Maka, jika pagi ini kita bisa saling berpelukan dalam damai, duduk di rumah yang utuh, menikmati makanan yang cukup — maka jangan lupa, ada saudara kita di Gaza yang juga sedang tersenyum, meski dengan air mata, karena mereka yakin: surga lebih luas daripada Gaza.
Allahu Akbar… Allahu Akbar… Laa ilaaha illallah…