Tanggal 20 Mei bukan sekedar angka di kalender nasional. Ia adalah simbol pergerakan, lambang kesadaran, dan panggilan untuk bangkit. Hari Kebangkitan Nasional mengingatkan kita pada titik balik sejarah bangsa, ketika semangat untuk menjadi satu sebagai Indonesia mulai tumbuh di tengah penjajahan yang menindas. Melalui organisasi Budi Utomo yang lahir pada 20 Mei 1908, rakyat mulai memahami bahwa kemerdekaan tidak bisa diraih hanya dengan harapan—ia menuntut perjuangan, pengorbanan, dan persatuan.
Namun, lebih dari sekadar peringatan sejarah, Hari Kebangkitan Nasional adalah panggilan yang terus hidup. Di tengah zaman yang terus berubah—di mana kemajuan teknologi berkejaran dengan degradasi moral, dan kemakmuran ekonomi belum tentu beriringan dengan keadilan sosial—kita ditantang untuk menafsirkan ulang makna kebangkitan. Bangkit bukan hanya berarti keluar dari keterpurukan fisik, tetapi juga dari kelalaian ruhani. Bangkit bukan hanya melawan penjajahan asing, tetapi juga penjajahan batin: kemalasan, korupsi, hedonisme, dan kejumudan berpikir.
Dalam perspektif Islam, kebangkitan sejati dimulai dari kesadaran ruhani, yang kemudian menjelma menjadi kekuatan ilmu dan amal. Maka, Hari Kebangkitan Nasional mesti kita rayakan bukan hanya dengan upacara dan seremonial, melainkan dengan refleksi mendalam: Sudahkah kita bangkit dengan iman? Sudahkah ilmu menjadi cahaya hidup kita? Sudahkah amal kita memberi manfaat nyata untuk negeri ini?
Inilah saatnya kita menumbuhkan kembali semangat kebangkitan dalam tiga dimensi utama yang diajarkan Islam: iman yang mengakar dalam hati, ilmu yang menuntun akal, dan amal yang membumi dalam perbuatan nyata. Ketiga pilar inilah yang akan menjadikan kebangkitan bangsa tidak hanya kokoh secara lahir, tetapi juga diridhai oleh Allah ﷻ.
Kebangkitan yang Dilandasi Iman
Iman adalah kekuatan spiritual yang tak tampak, namun dahsyat pengaruhnya dalam membentuk manusia dan masyarakat. Dalam sejarah Islam, kita mengenal momen hijrah Nabi Muhammad ﷺ dari Makkah ke Madinah sebagai tonggak kebangkitan umat Islam. Hijrah bukan sekadar perpindahan fisik, tapi transformasi ruhani menuju sistem kehidupan yang diridhoi Allah.
Demikian pula kebangkitan nasional Indonesia tidak akan sempurna jika tidak dibarengi dengan kebangkitan iman. Di tengah derasnya arus materialisme dan krisis moral, kebangkitan bangsa harus dimulai dari hati yang bersih, niat yang lurus, dan tekad yang kuat untuk menjadikan hidup sebagai ibadah. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang tidak hanya maju dalam teknologi, tetapi juga dalam akhlak dan spiritualitas.
Ilmu sebagai Obor Peradaban
Allah ﷻ berfirman:
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan kehidupan. Tanpa ilmu, perjuangan kehilangan arah, dan kebangkitan menjadi rapuh. Generasi pendiri bangsa menyadari hal ini. Tokoh-tokoh seperti Haji Agus Salim, KH Ahmad Dahlan, dan HOS Tjokroaminoto menempatkan pendidikan dan pembinaan umat sebagai prioritas utama dalam perjuangan.
Kini, ketika dunia memasuki era digital dan teknologi informasi, tantangan menjadi lebih kompleks. Maka kebangkitan kita harus ditopang oleh ilmu yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga yang bersifat hikmah—yang mampu membimbing manusia menjadi hamba dan khalifah di muka bumi. Pendidikan karakter, integritas, dan literasi spiritual adalah bagian penting dari kebangkitan keilmuan yang Islami.
Amal sebagai Bukti Cinta pada Negeri
Iman tanpa amal adalah angan-angan. Ilmu tanpa amal adalah kesia-siaan. Dalam Islam, amal adalah manifestasi konkret dari keimanan. Amal bukan hanya shalat dan puasa, tetapi juga bekerja, mengabdi, membangun, dan memperjuangkan kebaikan untuk sesama.
Di tengah tantangan bangsa—kemiskinan, korupsi, disinformasi, dan krisis lingkungan—kita butuh lebih banyak amal nyata. Bukan hanya kritik, tapi kontribusi. Bukan hanya wacana, tapi aksi. Jika setiap elemen masyarakat—pelajar, guru, pegawai, petani, pejabat—melihat pekerjaannya sebagai ibadah dan ladang amal, maka kebangkitan itu akan menjadi nyata, bukan sekadar slogan tahunan.
Membangun Bangsa dengan Jiwa Islami
Kebangkitan nasional dalam perspektif Islam bukan berarti menjadikan negara ini sebagai negara agama, tetapi menjadikan nilai-nilai Islam sebagai inspirasi dalam kehidupan berbangsa. Nilai seperti kejujuran, keadilan, kerja keras, tolong-menolong, dan cinta tanah air adalah ajaran universal Islam yang sejalan dengan cita-cita kemerdekaan.
Seperti sabda Nabi ﷺ:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)
Maka bangkitlah wahai pemuda! Bangkitlah wahai guru, petani, dan pemimpin! Bangkit dengan iman yang teguh, ilmu yang luas, dan amal yang tulus. Mari jadikan Hari Kebangkitan Nasional sebagai momentum evaluasi diri dan transformasi kolektif, demi Indonesia yang lebih beradab, berilmu, dan dirahmati Allah.