Tanggal 24 September setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Bagi sebagian orang, peringatan ini mungkin hanya sebatas agenda tahunan, namun sejatinya ia memiliki makna yang sangat dalam. Hari ini menjadi pengingat bahwa kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari jerih payah petani, para penjaga bumi yang menanam, merawat, dan menghadirkan pangan untuk kita semua.
Akar Sejarah Hari Tani Nasional
Hari Tani Nasional ditetapkan sejak tahun 1960, bersamaan dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. UU ini menjadi simbol perjuangan keadilan agraria dan hak kaum tani atas tanah, yang kala itu banyak dikuasai segelintir elit. Semangat UUPA adalah agar tanah dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk segelintir orang. Dengan kata lain, Hari Tani adalah momentum sejarah untuk menegaskan keberpihakan negara kepada petani dan kedaulatan pangan bangsa.
Namun lebih dari enam dekade setelahnya, cita-cita itu masih menyisakan tantangan. Banyak petani yang belum sejahtera, harga gabah sering kali tidak stabil, pupuk langka, hingga lahan pertanian berkurang karena beralih fungsi menjadi industri atau perumahan. Ironi ini membuat kita kembali bertanya: apakah kita sudah benar-benar menghargai mereka yang memberi makan negeri?
Petani, Pahlawan yang Sering Terlupakan
Petani bukanlah sosok yang biasa kita lihat di layar televisi atau media sosial. Mereka bekerja dalam senyap, di tengah terik matahari atau dinginnya fajar. Dari bulir padi yang mereka tanam, dari sayuran yang mereka rawat, dan dari buah yang mereka panen—kita bisa hidup, bersekolah, bekerja, dan beribadah dengan kenyang.
Namun, realitas sering kali tidak berpihak pada mereka. Petani masih identik dengan kemiskinan, padahal merekalah yang justru menjaga keberlangsungan pangan negeri. Ketidakadilan ini menjadi refleksi bersama: bukankah seharusnya yang memberi makan bangsa justru paling layak untuk hidup sejahtera?
Pandangan Islam tentang Pertanian
Dalam Islam, bercocok tanam memiliki kedudukan yang mulia. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman atau menabur benih, kemudian tanaman itu dimakan oleh burung, manusia, atau binatang, melainkan menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan betapa agungnya pekerjaan seorang petani. Setiap tetes keringat mereka yang menghasilkan makanan bukan hanya bernilai ekonomi, tetapi juga bernilai ibadah dan pahala di sisi Allah.
Al-Qur’an juga berulang kali mengingatkan manusia agar memakmurkan bumi. Allah berfirman:
“Dialah yang menjadikan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.” (QS. Hud: 61)
Ayat ini menegaskan bahwa bercocok tanam adalah bagian dari amanah manusia sebagai khalifah di muka bumi. Menanam bukan hanya soal perut, tetapi juga soal ibadah dan keberlanjutan kehidupan.
Menjaga Kedaulatan Pangan, Menjaga Masa Depan
Hari Tani Nasional mengingatkan kita bahwa kedaulatan pangan adalah kunci masa depan bangsa. Sebuah negeri tidak akan pernah berdiri kokoh jika bergantung sepenuhnya pada impor pangan. Maka, keberpihakan nyata kepada petani harus menjadi prioritas.
Bentuk keberpihakan itu bisa hadir dalam banyak hal:
- Memberikan jaminan harga panen yang adil.
- Mempermudah akses pupuk dan teknologi pertanian yang ramah lingkungan.
- Menjaga lahan pertanian dari alih fungsi berlebihan.
- Mengajak masyarakat untuk lebih mencintai produk lokal.
Kita, sebagai konsumen, juga bisa berperan. Dengan menghargai setiap butir nasi dan tidak membuang makanan, kita sesungguhnya sedang menghargai kerja keras petani.
Menghargai Peluh, Menyemai Harapan
Hari Tani Nasional bukan sekadar peringatan, tetapi sebuah ajakan moral. Ajakan untuk menundukkan kepala sejenak, mengingat bahwa kehidupan kita bertumpu pada keringat orang-orang sederhana yang bekerja di sawah dan ladang.
Ketika kita menghargai petani, kita sedang menghargai amanah Allah dalam menjaga bumi. Dan ketika kita membersamai perjuangan mereka, sesungguhnya kita sedang menyemai harapan bagi kedaulatan bangsa.
Maka pada 24 September, Hari Tani Nasional, mari kita haturkan doa, apresiasi, dan komitmen untuk terus menjaga mereka yang telah menjaga kehidupan kita. Karena dari bulir padi yang mereka semai, kehidupan sebuah bangsa bisa terus lestari.