Ada masanya dalam hidup seorang anak di mana ia merasa telah kuat, mandiri, dan dewasa. Namun, di saat yang sama, sosok yang dulu paling kuat di matanya—ibunya—mulai melemah. Rambut yang dulu hitam legam, kini memutih. Tangan yang dulu cekatan mengurus segalanya, kini gemetar memegang gelas. Suara yang dulu tegas menasihati, kini melemah, bahkan kadang tertahan oleh batuk atau lupa. Waktu terus berjalan, dan ibu kita perlahan menua.
Namun, ada satu hal yang tak pernah pudar: doanya.
Meski tubuhnya tak lagi kuat, meski langkahnya tak lagi sigap, ibu tetap menjadi tameng tak terlihat dalam kehidupan kita. Dalam doa-doanya yang lirih di sepertiga malam, dalam bisikannya setelah salat, dalam air matanya yang jatuh tanpa kita tahu—ia memohon perlindungan, rezeki, dan kebaikan untuk anak-anaknya. Ibu mungkin tak lagi bisa menolong dengan tenaga, tapi doanya terus menjadi benteng yang tak bisa dilihat, namun kita rasakan manfaatnya sepanjang hari.
Doa Ibu: Senjata yang Tak Pernah Habis
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua, dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (HR. Tirmidzi)
Doa ibu adalah satu di antara doa-doa yang mustajab. Dari lisannya yang telah lemah dan seringkali tak terdengar, keluar permohonan-permohonan tulus yang menjadi benteng bagi anak-anaknya. Ia berdoa agar kita selalu diberi keselamatan, agar rumah tangga kita utuh, agar anak-anak kita shalih, agar rezeki kita berkah, dan agar kita dijauhkan dari marabahaya. Bahkan ketika kita lupa mendoakan diri sendiri, ibu tetap mengingat kita dalam doanya.
Maka betapa malunya bila kita melupakan ibu saat ia tak lagi kuat. Betapa berdosanya bila kita sibuk mengejar dunia tapi lupa bahwa ada hati renta yang menunggu kunjungan, pelukan, dan sekadar perhatian dari anaknya. Ibu tak menuntut balasan sebanding. Ia hanya ingin ditemani, dihormati, disayang sebagaimana dulu ia menyayangi kita saat kita tak berdaya.
Berbakti di Masa Lemahnya: Ujian Sejati Anak
Berbakti kepada ibu bukan hanya ketika ia sehat dan bertenaga. Ujian sejati bakti seorang anak justru hadir ketika ibu telah menua, melemah, atau bahkan telah kehilangan sebagian kesadarannya. Mungkin ia menjadi pelupa, sensitif, atau sering mengulang hal yang sama. Tapi justru di situlah cinta kita diuji: apakah sabar kita seluas kasihnya dahulu?
Ibnul Jauzi pernah berkata, “Jangan kau merasa cukup berbuat baik pada orang tuamu, karena sesungguhnya mereka telah mengorbankan segalanya untukmu saat engkau belum bisa melakukan apa-apa.”
Hari ini, mungkin ibu tidak lagi menjemputmu di sekolah. Tapi kau bisa menjemputnya ke rumah untuk sekadar makan bersama. Mungkin ia tidak lagi menyiapkan makanan favoritmu. Tapi kau bisa memasakkan atau membelikannya. Mungkin ia tak lagi bisa menasihatimu dengan jelas. Tapi pelukannya masih mampu menjadi penawar luka.
Jangan Tunggu Terlambat
Berapa banyak anak yang baru sadar betapa berharganya ibu ketika tanah merah telah menutup tubuhnya? Berapa banyak yang menyesal karena sibuk mengejar karier dan prestasi, lalu lupa menyuapi ibu yang kesulitan makan? Berapa banyak yang menunda pulang, hingga tak sempat mendengar suara terakhir ibu?
Jangan menjadi bagian dari penyesalan itu.
Selagi ibu masih ada, jangan sia-siakan. Jangan hanya mengandalkan doa ibu—tapi jadilah doa itu sendiri bagi hidupnya. Jadilah anak yang setiap doanya mengangkat nama ibunya. Kunjungi ia, dengarkan ia, dan bahagiakan ia. Karena mungkin kau tak lagi kuatir tentang kesehatan ibumu, tapi yakinlah: doa-doanya yang masih melindungi hidupmu hingga kini.
Doa Tak Pernah Melemah
Ibu tak lagi bertenaga. Tapi doa-doanya tak pernah melemah. Ia tetap menjadi benteng spiritual yang menopang kehidupan kita dari kejauhan. Jika dulu kita diselamatkan oleh pelukannya, kini ia hanya bisa menyelamatkan kita lewat langit. Dan doa seorang ibu tak pernah gagal menembusnya.
Maka, selagi bisa, mari berbakti. Sebelum suara itu benar-benar hilang dari dunia, dan kita hanya bisa mengenangnya lewat air mata.