Idul Adha bukan sekadar hari raya yang diwarnai takbir, sembelihan hewan kurban, dan pembagian daging. Lebih dari itu, ia adalah momen spiritual yang mengajarkan tentang makna pengorbanan, keikhlasan, dan kepedulian terhadap sesama.
Kisah agung Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS bukan hanya tentang ketaatan kepada Allah, tetapi juga tentang kesiapan menyerahkan yang paling dicintai demi menjalankan perintah-Nya. Di balik peristiwa itu, tersimpan pelajaran besar bagi umat Islam: bahwa setiap ibadah harus berdampak pada tumbuhnya empati dan kepekaan sosial.
Idul Adha mengajak kita untuk tidak hanya menjadi hamba yang taat secara ritual, tetapi juga menjadi pribadi yang peduli pada penderitaan orang lain. Dalam daging kurban yang dibagikan, dalam senyum fakir miskin yang menerima, di sanalah ruh empati umat seharusnya menguat.
Kisah Pengorbanan: Iman, Ikhlas, dan Kepedulian
Tak bisa dipisahkan dari Idul Adha adalah kisah agung Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS. Kisah ini bukan hanya tentang ketaatan luar biasa, tetapi juga tentang hati yang penuh keikhlasan dan cinta yang bersandar pada Allah. Ketika perintah kurban datang, itu bukan sekadar ujian pribadi—itu adalah panggilan untuk mendidik hati manusia tentang apa arti berkorban demi sesuatu yang lebih besar.
Namun, kurban dalam konteks umat saat ini tidak terbatas pada menyembelih hewan. Kurban adalah bahasa empati. Ia menjadi bentuk nyata dari kepedulian sosial. Dalam daging yang dibagi, dalam senyum orang miskin yang menerima, dalam tangan-tangan yang memberi—di sanalah ruh Idul Adha hidup.
Kurban: Antara Ritual dan Realita Sosial
Setiap tahun, jutaan hewan disembelih oleh umat Islam di seluruh dunia. Tapi, yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah setiap kurban benar-benar sampai kepada mereka yang membutuhkan? Apakah kita memaknainya sekadar sebagai rutinitas tahunan, atau sebagai jembatan untuk mendekatkan hati kepada sesama?
Idul Adha seharusnya menjadi momen menghidupkan empati yang nyaris padam di tengah gaya hidup individualis zaman kini. Ketika tetangga lapar dan tak seorang pun peduli, maka makna kurban kehilangan ruhnya. Ketika daging menumpuk di rumah mereka yang mampu, dan mereka yang miskin hanya mendapat tulang, maka pesan sosial Idul Adha menjadi kabur.
Empati adalah kemampuan merasakan derita orang lain, lalu bergerak untuk meringankannya. Kurban bukan hanya ibadah vertikal kepada Allah, tapi juga ibadah horizontal: membangun ukhuwah, menyejukkan hati fakir miskin, dan menunjukkan bahwa Islam adalah agama kasih dan berbagi.
Empati dalam Perspektif Ibadah
Allah tidak membutuhkan daging atau darah hewan kurban. Dalam Surah Al-Hajj ayat 37 disebutkan:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamu-lah yang dapat mencapainya…” (QS. Al-Hajj: 37)
Ayat ini menegaskan bahwa yang terpenting adalah ketakwaan, dan salah satu manifestasi taqwa adalah empati kepada sesama. Memberi tanpa mengharap balasan. Berbagi tanpa merasa lebih tinggi. Menolong tanpa menunggu diminta.
Empati menjadikan ibadah lebih hidup. Ia melembutkan hati yang keras, membuka mata terhadap penderitaan di sekitar, dan menjadikan kurban sebagai bentuk syukur dan cinta kasih.
Momentum untuk Bangkit Bersama
Dalam suasana dunia yang masih dirundung berbagai krisis—ekonomi, kemanusiaan, peperangan—Idul Adha datang sebagai seruan kebangkitan nurani. Jangan sampai kurban hanya menjadi simbol kekayaan, gengsi, atau ajang pamer ibadah. Sebaliknya, jadikanlah ia sebagai wujud solidaritas umat.
Kita bisa mulai dengan hal sederhana:
- Menyapa tetangga yang jarang kita tengok.
- Membagikan paket daging kepada yang benar-benar membutuhkan.
- Mengajak anak-anak untuk menyaksikan penyembelihan, lalu menjelaskan nilai-nilainya: keberanian, keikhlasan, dan kasih sayang.
- Menyalurkan kurban ke daerah-daerah terpencil, tempat di mana daging adalah kemewahan langka.
Semua ini, meskipun kecil, adalah bentuk nyata empati yang bisa mengubah wajah umat.
Menjadi Umat yang Peduli
Ketika umat Islam saling peduli, maka kekuatan itu tidak hanya akan mengatasi kemiskinan, tapi juga menyembuhkan luka perpecahan. Idul Adha bukan hanya tentang hubungan kita dengan Allah, tapi juga tentang bagaimana kita membuktikan cinta kita kepada sesama manusia.
Inilah saatnya kita bertanya kepada diri sendiri:
“Sudahkah kurban kita mengajarkan untuk lebih peduli?”
“Apakah empati sudah menjadi bagian dari ibadah kita?”
Jika jawaban kita jujur, maka Idul Adha tahun ini bukan sekadar perayaan. Ia adalah langkah awal menjadi hamba yang lebih manusiawi.
Selamat Hari Raya Idul Adha
Semoga setiap tetes darah yang tertumpah menjadi saksi cinta kita kepada Allah, dan setiap daging yang dibagikan menjadi jembatan kasih kepada sesama.