Dalam pandangan manusia, kemuliaan sering kali diukur dengan materi, jabatan, atau kedudukan sosial. Orang yang kaya dianggap lebih terhormat, yang berpangkat tinggi lebih dihormati, dan yang terkenal lebih diagungkan. Namun, ukuran kemuliaan manusia di sisi Allah berbeda sama sekali. Allah menegaskan dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Ayat ini seakan menjadi pukulan telak bagi mereka yang menjadikan dunia sebagai standar kemuliaan. Karena pada akhirnya, Allah tidak menilai isi rekening kita, seberapa megah rumah kita, atau seberapa tinggi jabatan kita, melainkan seberapa bersih hati kita dan seberapa dalam ketakwaan kita.
Takwa: Inti dari Kemuliaan
Takwa adalah rasa takut yang disertai harapan kepada Allah, yang membuat seorang hamba taat kepada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Orang bertakwa bukan berarti tidak boleh kaya, tidak boleh punya jabatan, atau tidak boleh terkenal. Namun, semua itu dijadikan sarana untuk mendekat kepada Allah, bukan untuk meninggikan diri.
Bayangkan seorang pemimpin yang adil, seorang pengusaha yang dermawan, atau seorang ilmuwan yang rendah hati. Mereka mungkin memiliki harta, jabatan, atau popularitas, tetapi ketakwaanlah yang membuat mereka mulia di sisi Allah.
Kisah Sahabat: Bilal bin Rabah yang Dimuliakan karena Takwa
Bilal bin Rabah adalah seorang budak berkulit hitam yang dulunya hina di mata masyarakat Quraisy. Ia disiksa dengan kejam karena memeluk Islam, tubuhnya dijemur di padang pasir, dadanya ditindih batu besar, hanya karena ia mengatakan: “Ahad… Ahad…” (Allah Maha Esa).
Namun, Rasulullah ﷺ mengangkat Bilal sebagai muazin pertama dalam Islam. Suaranya yang merdu menggema di Madinah, memanggil manusia menuju shalat. Bahkan, dalam sebuah riwayat, Rasulullah ﷺ pernah berkata kepada Bilal:
“Wahai Bilal, aku mendengar suara langkahmu di surga.” (HR. Bukhari-Muslim)
Bayangkan, seorang budak yang dahulu dianggap rendah oleh manusia, justru dimuliakan oleh Allah karena takwanya. Inilah bukti nyata bahwa standar kemuliaan bukanlah warna kulit, status sosial, atau harta benda, tetapi ketakwaan.
Kisah Sahabat: Salman Al-Farisi yang Diangkat Derajatnya
Salman Al-Farisi berasal dari Persia. Ia mencari kebenaran dari satu agama ke agama lain, hingga akhirnya bertemu dengan Rasulullah ﷺ dan masuk Islam. Meskipun bukan orang Arab dan tidak memiliki kedudukan tinggi, Rasulullah ﷺ menyebut Salman dengan penuh penghormatan:
“Salman adalah bagian dari keluarga kami, Ahlul Bait.” (HR. Ibnu Majah)
Kemuliaan Salman bukan datang dari nasab atau kekayaan, melainkan dari ketakwaannya yang membuatnya begitu dekat dengan Rasulullah ﷺ.
Kemuliaan Dunia Hanya Sementara
Harta bisa lenyap dalam sekejap. Jabatan bisa hilang hanya dengan selembar surat keputusan. Popularitas bisa runtuh hanya dengan satu kesalahan. Tetapi ketakwaan adalah kemuliaan yang abadi, yang akan menyertai seorang hamba hingga alam kubur dan menjadi cahaya di akhirat.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa semua kemegahan dunia tidak pernah menjadi tolok ukur di hadapan Allah. Yang dinilai hanyalah hati yang ikhlas dan amal yang penuh takwa.
Menjadi Mulia dengan Takwa
Takwa bisa diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari:
- Menjaga shalat lima waktu meski sibuk bekerja.
- Menahan diri dari ucapan yang menyakiti orang lain.
- Menutup aurat dengan penuh kesadaran.
- Menjauhi riba meski peluang keuntungan terlihat besar.
- Membantu orang lain tanpa pamrih, hanya berharap ridha Allah.
Tindakan kecil yang berlandaskan takwa akan menjadi sebab kemuliaan seorang hamba di sisi Allah.
Ukur Kemuliaan dengan Akhirat
Kita boleh bekerja keras mencari rezeki, boleh bercita-cita tinggi meraih jabatan, boleh menggapai prestasi setinggi langit. Namun, jangan pernah lupa: semua itu bukanlah standar kemuliaan yang sesungguhnya. Standar yang hakiki adalah takwa.
Sehebat apapun manusia memandang kita di dunia, tidak ada artinya jika Allah memandang kita hina. Tetapi meski dunia memandang rendah kita, jika Allah memuliakan karena takwa, maka itulah kemuliaan sejati.
Maka marilah kita jadikan takwa sebagai harta paling berharga, pangkat paling tinggi, dan prestasi paling agung. Sebab pada akhirnya, hanya takwa yang akan mengangkat derajat kita di hadapan Allah, Sang Pemilik kemuliaan yang abadi.