Dalam kehidupan yang serba cepat dan penuh kompetisi seperti saat ini, sikap rendah hati sering kali dianggap kelemahan. Banyak orang merasa harus menonjolkan diri, menunjukkan apa yang dimiliki, bahkan berlomba-lomba untuk diakui oleh sesamanya. Namun, Islam mengajarkan sesuatu yang berbeda. Justru di balik kerendahan hati, tersimpan kekuatan besar yang mampu meninggikan seseorang—bukan hanya di mata manusia, tetapi lebih penting lagi, di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tiadalah seseorang bersikap tawadhu (rendah hati) karena Allah kecuali Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim, no. 2588)
Hadis ini singkat, namun sarat makna. Ia seakan menjadi kompas yang mengingatkan setiap Muslim bahwa kemuliaan tidak lahir dari keangkuhan, tetapi justru dari sikap menundukkan hati. Tawadhu adalah pakaian orang beriman yang tidak akan pernah lekang oleh zaman.
Hakikat Tawadhu dalam Kehidupan Sehari-hari
Tawadhu bukan sekadar bersikap lembut dalam berbicara atau menahan diri dari membanggakan harta dan ilmu. Lebih jauh dari itu, tawadhu adalah kesadaran mendalam bahwa semua yang kita miliki hanyalah titipan Allah. Ilmu yang kita kuasai, harta yang kita genggam, bahkan wajah yang tampak menawan—semuanya bukanlah hasil semata dari usaha pribadi, melainkan anugerah yang bisa saja dicabut kapan saja oleh Sang Pemberi.
Orang yang tawadhu tidak merasa lebih tinggi daripada orang lain. Ia mampu melihat kebaikan pada diri sesamanya, meskipun mungkin dari sisi materi atau status sosial orang itu dianggap “lebih rendah”. Lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sosok paling mulia di muka bumi, justru hidup sederhana, duduk bersama para sahabat tanpa sekat, menyuapi anak-anak yatim, bahkan menambal sendiri sandalnya.
Ibarat Padi yang Merunduk
Pepatah lama berkata, “Ibarat padi, semakin berisi semakin merunduk.” Begitulah hakikat seorang Muslim sejati. Ilmu yang bertambah seharusnya membuatnya semakin takut kepada Allah, bukan justru semakin merasa hebat. Harta yang berlimpah seharusnya mendorongnya untuk semakin banyak memberi, bukan mempertinggi tembok pemisah dengan sesamanya.
Seorang ulama salaf pernah berkata,
“Jika engkau melihat dirimu lebih baik daripada orang lain, maka engkau sedang terjatuh dalam kesombongan. Sebab engkau tidak tahu, bisa jadi orang yang engkau pandang rendah lebih mulia di sisi Allah.”
Buah dari Kerendahan Hati
Sikap rendah hati yang dilandasi keikhlasan karena Allah akan membuahkan banyak kebaikan:
1. Dimuliakan oleh Allah. Meski manusia mungkin mengabaikan, Allah yang Maha Melihat akan meninggikan derajatnya, baik di dunia maupun akhirat.
2. Dicintai manusia. Orang yang tawadhu akan mudah diterima dan disayangi oleh lingkungannya, karena tutur katanya menyejukkan dan sikapnya menenangkan.
3. Mengikis penyakit hati. Tawadhu menjadi obat bagi ujub, sombong, dan bangga diri yang dapat merusak amal.
4. Menguatkan persaudaraan. Relasi antarsesama akan terjaga dengan baik, karena setiap orang merasa dihargai dan dimuliakan.
Doa dan Harapan
Tawadhu bukan perkara mudah, karena hati manusia cenderung ingin dipuji dan diakui. Namun, seorang mukmin sejati selalu berusaha menundukkan dirinya, seraya berdoa agar Allah menolongnya menjaga hati.
Semoga Allah Ta’ala menganugerahi kita hati yang selalu rendah di hadapan sesama, namun tinggi dalam iman dan takwa. Semoga kita termasuk hamba-hamba yang tidak mencari pujian manusia, tetapi mencari ridha Allah semata.
Karena pada akhirnya, kemuliaan sejati bukanlah berada di atas orang lain, melainkan berada dekat dengan Allah, Sang Penguasa seluruh alam.