Ketuhanan Yang Maha Esa: Pondasi Pancasila, Inti Ajaran Islam

Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila—hari bersejarah ketika ide dasar negara ini diperkenalkan oleh Bung Karno dalam sidang BPUPKI tahun 1945. Dari lima sila yang menjadi dasar negara, sila pertama—“Ketuhanan Yang Maha Esa”—ditempatkan paling awal. Ini bukan sekadar urutan, tapi penegasan bahwa fondasi utama dari seluruh bangunan kebangsaan kita adalah keimanan kepada Tuhan.

 

Dalam perspektif Islam, ini bukan hanya relevan, tapi sejatinya adalah napas dari setiap perintah Allah dan risalah para nabi. Ketuhanan Yang Maha Esa bukan hanya sila pertama, tetapi juga puncak sekaligus dasar dari seluruh etika, hukum, dan kehidupan sosial—baik dalam konteks keagamaan maupun kebangsaan.

 

Ketuhanan dalam Pandangan Islam

Islam sejak awal telah menanamkan konsep tauhid—meng-Esa-kan Allah—sebagai ajaran yang paling fundamental. Ayat-ayat Al-Qur’an penuh dengan seruan untuk mengesakan Allah dan menjadikan-Nya satu-satunya sumber hukum, nilai, dan moral.

“Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat bergantung segala sesuatu.” (QS. Al-Ikhlas: 1-2)

Ketika Pancasila menempatkan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama, sesungguhnya ini sejalan dengan ajaran Islam yang menjadikan iman sebagai asas setiap amal. Tauhid bukan sekadar pengakuan lisan, tetapi pedoman hidup yang membentuk akhlak, keputusan, bahkan interaksi sosial.

 

Dalam Islam, keimanan kepada Allah juga menjadi akar dari keadilan, kejujuran, kasih sayang, dan amanah—semua nilai yang kemudian secara eksplisit atau implisit tercermin dalam sila-sila Pancasila lainnya.

 

Pancasila dan Nilai Tauhid

Pancasila bukanlah ideologi sekuler dalam pengertian meniadakan peran agama. Sebaliknya, sila pertama membuka ruang seluas-luasnya bagi bangsa Indonesia untuk menjalankan agamanya secara damai dan harmonis.

 

Makna “Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak berhenti pada pengakuan formal, tetapi mengandung seruan untuk menegakkan nilai-nilai ilahiyah dalam kehidupan pribadi dan sosial. Dalam konteks Islam, ini mencakup:

  • Shalat: sebagai penguat hubungan vertikal (hablum minallah).
  • Zakat dan Infaq: sebagai wujud tanggung jawab sosial (hablum minannas).
  • Menegakkan keadilan: sebagaimana perintah Allah dalam QS. An-Nahl: 90, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…”

Artinya, Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila bukanlah simbol, melainkan ajakan untuk hidup secara etis dan spiritual, berdasarkan kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan.

 

Integrasi Keimanan dan Kebangsaan

Di tengah tantangan zaman—seperti individualisme, materialisme, dan krisis moral—sila pertama menjadi pengingat bahwa bangsa ini tidak dibangun di atas fondasi kosong. Ia berakar pada keimanan dan nilai-nilai luhur agama.

 

Islam tidak mengajarkan pemisahan antara agama dan kehidupan sosial. Rasulullah ﷺ sendiri membangun masyarakat Madinah dengan landasan akidah yang kuat sekaligus tatanan sosial yang adil. Beliau membuktikan bahwa keimanan tidak mengasingkan diri dari kehidupan publik, justru menjadi bahan bakarnya.

 

Begitu pula Indonesia, yang memiliki keragaman suku, budaya, dan agama. Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi simpul pemersatu: setiap anak bangsa bebas menjalankan keyakinannya, tetapi bersama-sama menjaga nilai-nilai ketuhanan dalam ruang publik.

 

Refleksi untuk Umat Islam Indonesia

Hari Lahir Pancasila bukan hanya momen seremonial, melainkan saat yang tepat untuk bertanya: apakah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa telah terwujud dalam kehidupan kita?

 

Apakah keimanan kita membawa kepada kejujuran dalam berdagang?
Apakah shalat kita membuahkan kesabaran dan keadilan dalam bermasyarakat?
Apakah umat Islam menjadi pelopor dalam menjaga toleransi dan memperjuangkan kebenaran?

 

Kalau belum, maka tantangan kita adalah mewujudkan sila pertama bukan hanya di dalam pidato, tapi dalam etos hidup. Di sekolah, di pasar, di kantor, dan di ruang digital—Ketuhanan Yang Maha Esa harus menjadi arah moral kita bersama.

 

Membangun Indonesia dengan Iman di Hati

Ketika kita berbicara tentang Pancasila, kita sesungguhnya sedang berbicara tentang jati diri bangsa. Dan Ketuhanan Yang Maha Esa bukan hanya sila pertama secara urutan, tetapi juga pondasi terdalam dari arah hidup berbangsa dan bernegara.

 

Sebagai umat Islam, memaknai sila pertama adalah menghidupkan nilai-nilai tauhid dalam kehidupan sehari-hari: bukan hanya dalam ibadah ritual, tetapi juga dalam akhlak, dalam cara bermuamalah, dalam adab di ruang publik.

 

Menghargai perbedaan, menegakkan keadilan, berkata jujur, menjaga amanah—semua itu adalah cerminan dari iman yang hidup. Maka, memperingati Hari Lahir Pancasila bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi mengambil tanggung jawab hari ini: menjadi manusia beriman yang menghadirkan keberkahan bagi tanah air.

 

Sebab negeri ini tidak hanya membutuhkan pembangunan fisik, tetapi juga pembangunan ruhani. Dan tugas itulah yang kini ada di tangan kita semua—umat beriman yang ingin melihat Indonesia tumbuh dalam kemajuan, dengan langit yang tetap dinaungi oleh Ketuhanan Yang Maha Esa.