Di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang kian menggerus makna-makna spiritual, ada satu tempat suci yang terus memanggil umat Islam untuk mengingat kembali jati dirinya — Masjid Al-Aqsa. Ia bukan sekadar simbol sejarah atau objek konflik politik, tetapi titik temu antara wahyu dan perjuangan, antara kenangan masa silam dan harapan masa depan.
Al-Aqsa adalah tempat yang dimuliakan dalam Al-Qur’an, dijadikan kiblat pertama umat Islam, dan menjadi saksi perjalanan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad ﷺ. Namun ironisnya, kemuliaan itu perlahan memudar dari hati banyak Muslim, tergantikan oleh gemerlap dunia dan kabar-kabar yang datang tanpa pemahaman mendalam.
Ketika kita berbicara tentang Al-Aqsa, kita sejatinya sedang berbicara tentang bagian dari identitas umat. Kita sedang membuka lembaran cinta dan pengorbanan yang diwariskan para nabi dan syuhada. Sebab Masjid Al-Aqsa bukan hanya tempat suci — ia adalah amanah, ia adalah ujian, dan ia adalah cermin sejauh mana hati kita masih hidup untuk urusan umat.
Al-Aqsa: Kiblat Pertama yang Dilupakan
Dalam sejarah Islam, terdapat satu fakta yang jarang direnungi secara mendalam: bahwa shalat pertama Rasulullah ﷺ dan para sahabat menghadap ke arah Masjid Al-Aqsa. Selama hampir 16 bulan setelah hijrah ke Madinah, kaum Muslimin menghadap ke arah Baitul Maqdis. Ini menunjukkan betapa mulianya tempat tersebut di sisi Allah dan Rasul-Nya.
Namun, seiring waktu, perhatian umat mulai bergeser. Fokus ibadah berpindah ke Ka’bah di Makkah, dan perlahan, Masjid Al-Aqsa kehilangan tempatnya dalam kesadaran harian umat Islam. Banyak di antara kita yang lebih mengenalnya sebagai situs konflik politik, bukan sebagai situs ibadah dan sejarah kenabian.
Perjalanan Langit yang Menyentuh Bumi
Masjid Al-Aqsa bukan hanya kiblat pertama, tetapi juga saksi dari perjalanan luar biasa: Isra’ dan Mi’raj. Dalam peristiwa agung ini, Rasulullah ﷺ diperjalankan dari Masjidil Haram ke Masjid Al-Aqsa, sebelum naik ke Sidratul Muntaha. Di tempat inilah para nabi berkumpul untuk menyambut dan mengimami Nabi akhir zaman dalam shalat berjamaah — sebuah isyarat tentang kepemimpinan ruhani Muhammad ﷺ atas seluruh nabi.
Apakah kita pernah membayangkan makna tempat yang menjadi titik temu langit dan bumi ini? Masjid Al-Aqsa bukan sekadar bangunan — ia adalah jembatan antara dunia dan akhirat, antara sejarah dan masa depan.
Hati yang Kedua, Tapi Terluka
Bagi sebagian besar umat Islam, Masjid Al-Haram di Makkah adalah pusat spiritual yang tak tergantikan. Namun, Al-Aqsa adalah “hati yang kedua” — tempat yang juga mencintai dan dicintai. Namun hati ini kini sedang terluka.
Tiap batu di kompleks Al-Aqsa menyimpan cerita tentang penjajahan, pembatasan, dan kesakitan. Suara azan yang terkadang dibungkam, langkah-langkah kaki yang diawasi, serta para jamaah yang harus melewati pemeriksaan hanya untuk bersujud — semua itu adalah realitas yang tak bisa kita abaikan. Saat sebagian umat Islam menjalani kehidupan yang nyaman, saudara-saudara kita di Palestina harus mempertahankan setiap rakaat dengan keberanian.
Mengapa Kita Harus Peduli?
Kepedulian terhadap Al-Aqsa bukan semata karena ia bagian dari sejarah, tetapi karena ia adalah bagian dari iman. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidaklah seseorang mengadakan perjalanan untuk tujuan ibadah kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidku ini (Masjid Nabawi), dan Masjid Al-Aqsa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Masjid Al-Aqsa bukan masalah Palestina semata — ia adalah amanah bagi seluruh umat. Saat Al-Aqsa disakiti, sesungguhnya yang terluka adalah jiwa kita sendiri. Ketika umat terdiam, maka sejarah akan mencatat keheningan itu sebagai kelalaian yang memilukan.
Menanam Cinta dalam Doa dan Tindakan
Kita tidak semua bisa menginjakkan kaki di halaman Al-Aqsa, tapi kita bisa menanam cinta dalam hati, menyebut namanya dalam doa, dan menyuarakan kebenaran tentangnya. Menyisihkan harta untuk membantu mereka yang menjaga Al-Aqsa adalah bentuk amal yang tidak kalah mulia. Mengedukasi generasi muda tentang pentingnya masjid ini adalah investasi jangka panjang yang bernilai ukhrawi.
Setiap kita punya peran: dari pena yang menulis, lisan yang mendoakan, hingga tangan yang memberi. Selama hati kita masih hidup, maka Al-Aqsa akan tetap ada — meski dalam penantian yang panjang.
Merawat Hati yang Terluka
Masjid Al-Aqsa mungkin bukan tempat kita shalat hari ini, tetapi ia tetap menjadi kiblat cinta dan kepedulian. Seperti seorang ibu yang dilupakan anaknya, ia menunggu pelukan yang lama tak datang. Dan seperti hati yang kedua, ia tetap berdegup untuk umat yang kadang lupa akan denyutnya.
Marilah kita hidupkan kembali cinta itu, karena Al-Aqsa bukan hanya milik tanah Palestina — ia adalah warisan langit untuk seluruh umat Muhammad ﷺ.