Di antara hari-hari paling mulia dalam Islam, Hari Arafah memiliki tempat istimewa dalam hati para pencari Allah. Pada tanggal 9 Dzulhijjah, jutaan jamaah haji berkumpul di Padang Arafah untuk melaksanakan wukuf, puncak dari ibadah haji. Namun, bagi kita yang tidak berhaji, Arafah tetap hadir sebagai kesempatan besar untuk taubat, doa, dan perenungan tauhid.
Dalam tradisi sufi dan ulama, Hari Arafah juga dikenal sebagai Yaum At-Ta‘rīf—hari pengenalan. Tapi apakah yang dimaksud dengan “At-Ta‘rīf”? Kepada siapa kita diperkenalkan? Dan apa kaitannya dengan taubat serta tauhid?
Apa Itu At-Ta‘rīf?
Secara bahasa, ta‘rīf berasal dari akar kata ‘arafa–ya‘rifu, yang berarti mengetahui, mengenal, atau diperkenalkan. Dalam konteks Hari Arafah, At-Ta‘rīf dapat dimaknai sebagai momen ketika Allah memperkenalkan hamba kepada dirinya sendiri, kepada Tuhannya, dan kepada hakikat kehidupan.
Para ulama seperti Al-Harawi dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah mengaitkan At-Ta‘rīf dengan dimensi ruhani yang dalam—sebuah proses pengenalan ulang terhadap realitas diri: bahwa kita adalah hamba yang lemah, penuh dosa, yang tak punya daya dan upaya kecuali dengan pertolongan-Nya.
Arafah: Hari Pengakuan dan Taubat
Hari Arafah adalah hari pengakuan. Di sinilah para jamaah haji, berdiri dengan pakaian seragam putih yang menyimbolkan kefanaan dunia, mengangkat tangan tinggi-tinggi, menangis, dan memohon ampunan. Mereka mengakui dosa, kelemahan, dan ketergantungan total kepada Allah. Dan yang tidak berhaji pun dianjurkan untuk ikut berpuasa dan memperbanyak doa, sebab sabda Nabi ﷺ:
“Puasa Arafah menghapuskan dosa dua tahun: satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.” (HR. Muslim)
Inilah taubat dalam bentuk paling jujur: kembali kepada Allah, bukan karena keterpaksaan, tapi karena pengakuan bahwa hanya kepada-Nya kita berpulang. Dalam suasana Arafah, bahkan bagi yang tidak berada di sana, Allah memberikan kesempatan luas untuk kembali, memperbarui niat, dan menyucikan hati.
Tauhid: Inti dari Arafah
Jika taubat adalah bentuk kembali, maka tauhid adalah arah tujuan kembali itu. Hari Arafah mengajarkan bahwa segala bentuk penghambaan yang benar harus bermuara pada pengesaan Allah. Bahkan khutbah terakhir Nabi ﷺ yang disampaikan di Arafah pun menegaskan pilar ini:
“Wahai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian satu, dan bapak kalian satu. Ketahuilah, tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas non-Arab, tidak pula non-Arab atas Arab, tidak pula yang berkulit putih atas yang berkulit hitam, kecuali dengan taqwa.” (HR. Ahmad dan Al-Bazzar)
Tauhid tidak hanya pernyataan lisan—”Lā ilāha illa Allah”—namun sebuah kesadaran ruhani dan sosial bahwa hanya Allah yang patut dituju, disembah, dan dijadikan sandaran. Di Arafah, ketika langit terbuka dan doa-doa melesat tanpa hijab, tauhid mencapai makna paling puncak: keikhlasan total dalam berdoa dan berharap hanya kepada Allah.
At-Ta‘rīf: Ketika Allah Memperkenalkan Kita kepada Diri Kita
Dalam momen At-Ta‘rīf, Allah seakan-akan menyingkap tabir yang menutupi hati manusia. Hati yang selama ini keras karena dunia, dibiarkan menangis. Nafsu yang selama ini liar, dibuat lemah dan malu. Inilah makna At-Ta‘rīf: ketika Allah membukakan mata hati kita akan siapa diri kita sebenarnya.
Ibn Atha’illah dalam Hikam-nya berkata:
“Bagaimana mungkin hati akan bersinar, jika dunia masih memenuhi cerminnya?”
Hari Arafah adalah hari ketika cermin itu dibersihkan. Dalam ketulusan doa, kita akhirnya melihat diri yang sejati—yang papa, yang tak punya apa-apa, selain ampunan dan rahmat Allah.
Bukan Sekadar Ritual, Tapi Kesadaran Eksistensial
Sayangnya, banyak yang menjadikan hari Arafah sekadar rutinitas tahunan. Padahal, ia adalah momen eksistensial—saat ruhani seseorang bisa berubah selamanya. Arafah adalah panggilan, bukan hanya kepada tubuh untuk beribadah, tapi kepada jiwa untuk mengenal Rabb-nya, kembali kepada-Nya, dan bersaksi akan keesaan-Nya.
Syaikhul Islam Ibn Taymiyyah menyebut Hari Arafah sebagai “Yaum Al-‘Itq min Al-Nar”—hari pembebasan dari neraka. Sebab di hari inilah Allah paling banyak membebaskan hamba dari azab-Nya.
“Tidak ada hari yang lebih banyak Allah membebaskan hamba dari neraka selain Hari Arafah. Allah mendekat dan membanggakan mereka di hadapan para malaikat.” (HR. Muslim)
Arafah dan Diri Kita
Bagi yang tak berhaji, Hari Arafah tetap bisa menjadi medan pertemuan dengan Allah. Melalui puasa, dzikir, doa, tangisan, dan muhasabah, kita pun bisa ikut serta dalam At-Ta‘rīf—hari ketika Allah memperkenalkan kita kepada diri kita, dan memperkenalkan diri-Nya kepada kita.
Di tengah keramaian dunia yang terus mengalihkan perhatian, Hari Arafah memanggil:
“Kembalilah kepada-Ku. Lihat siapa dirimu. Kenali siapa Aku. Dan berjalanlah di jalan tauhid, bersama taubat yang tulus.”