Dalam derap langkah kehidupan yang begitu cepat, sering kali kita lupa untuk berhenti sejenak, menoleh ke belakang, dan bertanya pada diri: Sudah sejauh mana aku berjalan dalam kebaikan? Seberapa banyak amal yang telah kutanam, dan seberapa besar dosa yang terus kuabaikan? Inilah seni muhasabah—sebuah seni introspeksi yang kian terpinggirkan di tengah hiruk pikuk dunia.
Muhasabah bukan sekadar menghitung apa yang sudah kita lakukan hari ini. Ia adalah upaya menyelami hati, menyelidiki niat, menimbang amal, serta mengurai dosa satu per satu. Sayangnya, banyak dari kita merasa cukup hanya dengan melakukan aktivitas lahiriah tanpa pernah benar-benar mengaudit kehidupan batiniah. Padahal, sebagaimana perusahaan besar rutin melakukan evaluasi kinerja, seorang hamba yang ingin sukses di akhirat pun harus rajin mengevaluasi dirinya sendiri.
Mengapa Muhasabah Itu Penting?
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)
Ayat ini adalah seruan langsung kepada kita untuk senantiasa menghitung amal kita sebelum amal itu dihitung oleh Allah kelak di Hari Perhitungan.
Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu juga pernah berkata:
“Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, timbanglah amalmu sebelum ia ditimbang, dan bersiaplah untuk menghadapi hari yang besar.”
Perkataan beliau bukan nasihat kosong. Ia adalah panggilan sadar agar kita tidak terlena dengan rutinitas dunia hingga lupa bahwa setiap detik hidup akan dimintai pertanggungjawaban.
Menghitung Amal: Menjaga Kualitas, Bukan Sekadar Kuantitas
Sering kali kita sibuk mengejar banyaknya amal: berapa rakaat shalat malam, berapa lembar Al-Qur’an yang dibaca, berapa kali sedekah dalam seminggu. Tapi muhasabah menuntut lebih dalam: apakah shalat itu khusyuk? Apakah sedekah itu ikhlas? Apakah amal itu benar-benar lillahi ta’ala atau sekadar demi pencitraan di hadapan manusia?
Menghitung amal bukan soal menjumlahkan angka, tapi menimbang beratnya nilai di sisi Allah. Sebab amal yang besar di mata manusia bisa jadi ringan di sisi Allah bila niatnya tercemar. Sebaliknya, amal kecil yang tersembunyi dan dilakukan dengan tulus bisa lebih berat timbangannya di akhirat.
Mengurai Dosa: Jujur pada Diri Sendiri
Tak kalah penting dari menghitung amal adalah keberanian mengurai dosa. Inilah bagian yang paling sering kita hindari. Kita malu pada orang lain saat berbuat salah, tapi ironisnya tidak malu pada Allah yang Maha Melihat.
Muhasabah menuntut keberanian untuk jujur pada diri sendiri:
- Dosa apa yang selama ini kulakukan secara rutin?
- Kesalahan mana yang tak kunjung kuhentikan?
- Apa yang membuatku sulit bertaubat?
Sering kali dosa yang paling besar justru yang paling tersembunyi: hasad, riya, ujub, ghibah, menunda-nunda kebaikan, atau merasa diri paling benar. Muhasabah membantu kita membuka satu per satu simpul dosa yang menjerat hati dan menahan keberkahan hidup.
Seni yang Terlupakan
Di zaman yang menuntut kecepatan, kita begitu mudah terdistraksi oleh layar, jadwal, dan pencapaian. Kita terlalu sibuk untuk orang lain, tapi lupa meluangkan waktu untuk berdialog dengan diri sendiri.
Muhasabah adalah seni yang harus dihidupkan kembali. Ia bukan tugas berat. Cukup dengan duduk sejenak sebelum tidur, bertanya pada diri sendiri:
- Apa yang sudah aku lakukan hari ini?
- Apakah Allah ridha dengan hariku?
- Apakah aku lebih baik dari kemarin?
Membuat catatan harian ruhani bisa menjadi salah satu bentuk latihan muhasabah. Kita tulis setiap malam, bukan hanya aktivitas, tapi juga niat, emosi, keikhlasan, dan rasa syukur.
Buah dari Muhasabah
Orang yang rutin bermuhasabah akan lebih mudah menerima nasihat, lebih rendah hati, dan lebih waspada terhadap godaan. Ia tak mudah terpedaya pujian, dan tak gampang terjerumus dalam kemaksiatan.
Muhasabah menumbuhkan ketundukan, menghadirkan air mata taubat, memperbaiki hubungan dengan Allah dan sesama manusia. Ia mengajak kita untuk terus tumbuh, tidak puas dengan kebaikan hari ini, dan senantiasa rindu untuk memperbaiki diri.
Saatnya Kembali
Dalam dunia yang terus berlari, mari kita sesekali berhenti—bukan karena lelah, tapi karena ingin tahu arah. Jangan sampai kita mengira sedang berjalan menuju surga, padahal tanpa sadar sedang melangkah menjauh dari-Nya.
Muhasabah adalah cermin yang jujur. Ia mungkin membuat kita malu, tapi dari malu itu lahir tekad untuk berubah.
Mari kita hidupkan kembali seni yang terlupakan ini—menghitung amal, mengurai dosa—agar kita tak hanya hidup, tapi juga tumbuh menjadi hamba yang Allah cintai.