Di tengah gersangnya dunia yang sering kali kehilangan arah, manusia senantiasa mencari sandaran yang abadi. Ketika badai kehidupan datang silih berganti—bencana alam, konflik sosial, krisis moral, hingga kekeringan kasih sayang—kita pun bertanya: di mana harapan itu bertumbuh? Di mana tempat terbaik untuk memulainya kembali?
Ternyata jawabannya tidak harus ditemukan di tempat jauh. Ia bisa tumbuh dari bibir-bibir yang basah dengan tahmid (pujian kepada Allah) dan tasbih (penyucian atas-Nya). Sebab bumi ini, meski renta dan sering disakiti, tetap menyimpan harapan. Dan harapan itu dapat kita rasakan—dapat kita nikmati—dengan kesadaran spiritual yang dalam. Karena tahmid dan tasbih bukan sekadar lafaz, melainkan sikap jiwa, cara pandang, dan jalan kembali kepada keseimbangan semesta.
Bumi: Rumah Harapan yang Terluka
Bumi, tempat kita berpijak, bukan hanya sekumpulan daratan dan lautan. Ia adalah rahim kehidupan. Dari tanahnya tumbuh pangan, dari udaranya kita bernapas, dari ekosistemnya kita belajar harmoni. Namun tangan manusia kerap berlaku zalim. Rakus mengeksploitasi, lalai menjaga, dan lupa bersyukur. Maka bumi pun memberi isyarat: banjir, longsor, cuaca ekstrem, kerusakan ekologi.
Meski begitu, bumi tidak lelah memberi. Dalam senyap, ia terus menumbuhkan tunas harapan di setiap musim. Alam seolah berbisik: “Aku masih di sini. Aku belum menyerah.”
Inilah saatnya kita kembali menghayati peran sebagai khalifah. Menjadi penjaga, bukan perusak. Menjadi pemakmur, bukan penjarah. Dan proses itu bermula bukan dari kebijakan global atau proyek besar. Ia bisa dimulai dari hal sederhana: kesadaran ruhani—dari tahmid dan tasbih.
Tahmid: Menyuburkan Syukur, Menemukan Makna
Mengucap “Alhamdulillah” bukan hanya bentuk sopan santun kepada Allah. Ia adalah pengakuan bahwa semua yang baik berasal dari-Nya. Ketika kita bersyukur atas udara pagi, atas rintik hujan, atas hijaunya pepohonan, kita sedang menyuburkan jiwa agar tidak mati oleh keluhan dan pesimisme.
Syukur mengajarkan kita untuk melihat harapan, bukan hanya kekurangan. Kita mulai menyadari bahwa meski dunia ini luka, masih banyak nikmat-Nya yang terhampar: air yang mengalir, langit yang membiru, anak-anak yang tertawa, rezeki yang masih tercurah.
Dalam konteks bumi, tahmid adalah bentuk keterhubungan manusia dengan alam secara spiritual. Kita belajar untuk tidak merasa memiliki mutlak atas bumi, melainkan merasa dipinjami. Dan setiap peminjaman layak disyukuri dan dijaga.
Tasbih: Merendah untuk Memuliakan
Subhanallah. Satu kalimat pendek namun dalam maknanya. Ia adalah pengakuan bahwa Allah Maha Suci dari segala kekurangan, dan bahwa segala ciptaan-Nya adalah bentuk dari keindahan dan kesempurnaan kehendak-Nya.
Tasbih membuat kita berhenti dari kesombongan ilmiah dan materialisme kosong. Kita menjadi sadar bahwa semut di tanah, burung di langit, dan bintang di angkasa—semuanya bertasbih. Bahkan dalam Al-Qur’an disebutkan:
“Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak memahami tasbih mereka…” (QS. Al-Isra: 44)
Maka saat kita ikut bertasbih, kita sedang menyelaraskan diri dengan irama alam semesta. Kita bukan lagi pengganggu ekosistem, tapi bagian darinya. Kita menjadi makhluk yang sadar bahwa menjaga bumi adalah bentuk tasbih praktis—karena kita mengakui kesucian Sang Pencipta dengan menjaga ciptaan-Nya.
Harapan Itu Bernama Kesadaran
Menikmati harapan bumi tidak harus menunggu perubahan global yang besar. Ia bisa dimulai dari ruang hati yang kecil namun jernih. Dari kebiasaan kecil yang konsisten: memuji Allah saat melihat mentari terbit, menyucikan-Nya saat melihat keindahan alam, bersyukur atas setiap oksigen yang kita hirup.
Saat hati sudah dipenuhi tahmid dan tasbih, langkah kita pun akan berubah. Kita akan lebih bijak dalam membuang sampah, lebih peduli terhadap sesama makhluk hidup, lebih lembut dalam berinteraksi dengan alam.
Inilah bentuk ibadah ekologis—di mana setiap aktivitas manusia menjadi bentuk penghormatan kepada bumi sebagai amanah, dan kepada Allah sebagai Pencipta.
Membasahi Bumi dengan Dzikir
Mungkin kita tidak bisa menyulap dunia dalam semalam. Tapi kita bisa menyulap hati agar tetap terang di tengah gelapnya zaman. Dan tahmid serta tasbih adalah lentera itu.
Mari, mulai hari ini, biasakan lidah dengan dzikir, dan biasakan hidup dengan kesadaran. Sebab bumi tak hanya butuh teknologi untuk diselamatkan. Ia butuh manusia yang bertaubat, bersyukur, dan kembali bersujud.
Menikmati harapan bumi adalah tentang membasahi hati dengan iman, membasahi bumi dengan cinta, dan membasahi lidah dengan tahmid dan tasbih.