Dalam kehidupan yang serba cepat ini, manusia sering terjebak dalam rutinitas harian yang melelahkan. Di balik hiruk-pikuk dunia modern, sesungguhnya ada kebutuhan mendalam dalam diri setiap insan: menjadi pribadi yang taat kepada Pencipta dan bermanfaat bagi sesama. Dua hal inilah yang sejatinya menjadi pondasi kokoh dalam menjalani hidup, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)
Namun, sebelum seseorang dapat menjadi pribadi yang penuh manfaat bagi orang lain, ada satu hal yang mutlak harus terbangun dalam dirinya: ketaatan kepada Allah Ta’ala. Taat adalah pondasi; manfaat adalah buahnya. Tanpa ketaatan, amal hanya menjadi gerak hampa; tanpa manfaat, ketaatan menjadi potensi yang belum mekar sempurna.
Merangkai Taat: Menghubungkan Diri dengan Sang Khaliq
Ketaatan kepada Allah bukanlah semata melaksanakan ibadah ritual semisal shalat, puasa, zakat, dan haji. Taat adalah seluruh sikap tunduk, pasrah, dan patuh kepada aturan dan kehendak Allah di segala aspek kehidupan. Ia terwujud dalam niat yang lurus, akhlak yang santun, muamalah yang jujur, serta hati yang bersih dari penyakit riya’, sombong, dan iri dengki.
Taat dimulai dari hal-hal kecil: menjaga lisan dari ghibah, menundukkan pandangan dari hal yang haram, menyempurnakan shalat lima waktu di awal waktu, hingga membiasakan dzikir dan istighfar sebagai penjernih hati. Bila seseorang telah merangkai ketaatan ini dalam kesehariannya, ia ibarat pohon yang akarnya menghunjam ke bumi dan dahannya menjulang ke langit. Ia kokoh, meski diterpa badai dunia.
Allah berfirman:
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq: 2-3)
Lihatlah, ketaatan bukan hanya membawa keberkahan ukhrawi, tetapi juga keberkahan duniawi. Jiwa menjadi tenang, hati lapang, dan setiap langkah hidup terasa penuh makna.
Menebar Manfaat di Bumi: Wujud Nyata Ketaatan
Ketaatan yang benar tak berhenti di ruang pribadi. Ia menuntut manifestasi di tengah masyarakat. Ketaatan mendorong seorang hamba untuk berbuat baik, memberi manfaat, menjadi solusi di tengah umat.
Menebar manfaat bisa dalam bentuk paling sederhana: menyapa tetangga dengan senyum, membantu orang tua menyebrang jalan, membelikan makanan untuk anak yatim, mengajarkan ilmu yang bermanfaat, atau bahkan sekadar mendoakan kebaikan bagi sesama Muslim. Semua ini tercatat di sisi Allah sebagai amal shalih yang akan menolong kelak di hari pembalasan.
Tak perlu menunggu kaya untuk berbagi. Tak harus menjadi pejabat untuk memberi pengaruh. Bahkan sebatang kayu yang dipindahkan dari jalan agar tak menghalangi orang lain pun bernilai sedekah di sisi Allah.
Nabi ﷺ bersabda:
“Setiap ruas tulang manusia wajib dikeluarkan sedekahnya setiap hari. Memberikan salam adalah sedekah, memerintahkan yang ma’ruf adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan menghilangkan gangguan dari jalan adalah sedekah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sungguh, bila hati dilandasi ketaatan, maka lisan, tangan, kaki, dan pikiran akan selalu mencari jalan untuk memberi manfaat. Inilah hakikat mukmin sejati: ibadah vertikal kepada Allah, pengabdian horizontal kepada sesama.
Ketaatan dan Manfaat: Dua Sayap Menuju Kebahagiaan
Banyak orang merasa gelisah meski hartanya melimpah. Ada pula yang dikelilingi popularitas, namun jiwanya hampa. Mengapa? Karena fondasi taat dan manfaat belum terbangun kokoh. Iman tanpa amal adalah benih tak tumbuh. Amal tanpa iman adalah bangunan tanpa pondasi.
Jika ketaatan ibarat akar, maka manfaat ibarat buah. Keduanya saling melengkapi. Ibadah yang sempurna melahirkan akhlak mulia, akhlak mulia membimbing untuk memberi manfaat. Tidak mungkin seseorang ikhlas beribadah lalu tega menyakiti orang lain. Tidak mungkin pula seseorang mencintai Allah lalu abai terhadap kebutuhan sesamanya.
Dalam sejarah, para salafus shalih memahami ini dengan baik. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, misalnya, rela berjalan malam demi memastikan rakyatnya tak kelaparan. Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu tak hanya sibuk ibadah, tapi juga mengurusi janda-janda dan anak yatim di Madinah. Mereka adalah contoh insan yang merangkai taat, menebar manfaat.
Menjadi Cahaya di Tengah Kegelapan
Zaman ini penuh ujian: materialisme, individualisme, egoisme. Di tengah gelapnya arus ini, siapa pun yang mampu memadukan taat dan manfaat, ibarat lilin yang menyala di lorong malam. Kehadirannya memberi terang. Kata-katanya menyejukkan. Perbuatannya memudahkan. Hatinya penuh rahmat.
Bayangkan jika di setiap lingkungan ada satu orang seperti ini. Di pasar, di kantor, di sekolah, di jalan raya. Maka bumi ini takkan kekurangan kasih sayang, kebaikan, dan keadilan.
Saatnya Menyulam Ketaatan, Menuai Manfaat
Saudaraku, hidup ini singkat. Dunia bukan tempat tinggal, melainkan tempat singgah. Sebelum tiba detik terakhir nafas kita, mari kita kuatkan pondasi taat kepada Allah; mari tebarkan manfaat seluas-luasnya di bumi. Jangan tunggu sempurna untuk mulai. Jangan tunggu kaya untuk berbagi. Jangan tunggu lapang untuk menolong.
Karena di hadapan Allah, sekecil apa pun amal, jika lahir dari hati yang taat, akan berbuah pahala besar di akhirat.
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya).” (QS. Az-Zalzalah: 7)
Semoga kita menjadi hamba yang taat di hadapan Rabb semesta alam, sekaligus makhluk yang bermanfaat di tengah kehidupan dunia.