Rapat Shaf, Tapi Tidak Rapat Hati: Potret Sholat yang Carut-Marut

Masjid-masjid hari ini penuh. Barisan sholat teratur. Imamnya fasih. Suaranya merdu. Pengumuman sebelum sholat mengingatkan agar merapatkan shaf, meluruskan barisan, dan mematikan ponsel. Tapi ada satu hal yang sering terlewat: apakah hati kita juga ikut sholat? Apakah sholat kita hanya gerakan fisik, atau pertemuan batin antara seorang hamba dan Rabb-nya?

 

Sholat adalah perjumpaan paling intim antara manusia dan Allah. Sebuah ruang suci di tengah riuhnya dunia. Namun, betapa sering sholat dijalankan tanpa jiwa. Gerakan terlaksana, bacaan dilafalkan, tapi hati absen. Kita datang dengan tubuh yang berdiri, ruku’, dan sujud—namun lupa bahwa yang paling penting adalah rasa tunduk yang mengalir dari hati.

 

Rasulullah ﷺ bersabda,

Bisa jadi seseorang sholat tetapi tidak mendapatkan dari sholatnya kecuali hanya kelelahan dan kantuk.” (HR. Ahmad).

Sebuah peringatan serius bahwa sholat tanpa kekhusyukan bisa menjadi kosong makna, dan tak memberi dampak apa-apa pada jiwa.

 

Mengapa bisa terjadi demikian?

 

Karena kita terlalu sibuk menyibukkan diri dengan dunia, bahkan saat sedang berhadapan dengan Tuhan. Kita tergesa-gesa, pikiran ke mana-mana. Bahkan ada yang menyempatkan diri menjawab pesan di ponsel setelah salam, tanpa sejenak pun duduk bermuhasabah. Seakan-akan sholat hanyalah rutinitas harian yang wajib diselesaikan secepatnya agar bisa kembali ke “urusan yang lebih penting”. Padahal tak ada urusan yang lebih penting daripada menghadap Allah.

 

Lalu bagaimana bisa hidup kita teratur kalau sholat kita sendiri carut-marut?

 

Lihatlah, Allah meletakkan sholat sebagai tiang agama. Ia pondasi utama. Jika pondasi ini lemah, bagaimana bisa kita berharap bangunan kehidupan kita kokoh? Sholat bukan hanya ibadah ritual, tapi penentu kualitas batin. Allah berfirman:

Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabut: 45)

Jika kita masih mudah marah, mudah berdusta, atau tergoda maksiat, mungkin sholat kita belum “menyentuh” jiwa. Mungkin karena selama ini kita hanya menghadirkan raga tanpa ruh. Sehingga sholat tidak benar-benar mencegah kita dari kemungkaran.

 

Lebih ironis lagi, betapa banyak dari kita yang merasa telah sholat dengan baik hanya karena shaf terlihat rapi. Padahal shaf yang lurus tidak serta-merta menunjukkan hati yang khusyuk. Bahkan bisa jadi, hati kita lebih berjarak dari Allah dibanding jarak antara satu jamaah dan jamaah lainnya.

 

Merapatkan shaf memang perintah Rasulullah ﷺ—karena itu bagian dari sunnah dan simbol persatuan. Tapi jangan sampai kita hanya fokus pada ritual fisik dan lupa pada dimensi ruhani. Allah tak hanya melihat barisan kita, tapi lebih melihat niat, kekhusyukan, dan ketundukan dalam hati kita.

 

Mari kita jujur pada diri sendiri. Seberapa sering kita sholat dengan sadar bahwa kita sedang berdiri di hadapan Raja segala raja? Seberapa sering air mata kita jatuh karena menghayati ayat yang dibaca? Seberapa sering hati kita benar-benar larut dalam doa saat sujud?

 

Jika jarang, jangan-jangan kita sedang menjadi bagian dari orang-orang yang disebut Allah dalam Al-Qur’an:

Maka celakalah orang-orang yang sholat. Yaitu orang-orang yang lalai dalam sholatnya.” (QS. Al-Ma’un: 4-5)

Bukan lalai meninggalkan sholat, tapi lalai di dalam sholat. Melakukan ibadah ini dengan asal-asalan, tanpa kehadiran hati dan kesadaran bahwa ini adalah pertemuan dengan Zat Yang Maha Mulia.

 

Maka perbaikilah sholat kita. Jangan hanya rapatkan shaf, tapi rapatkan juga hati. Hadirkan cinta, harap, dan takut kepada Allah saat mengangkat takbir. Rasakan setiap bacaan, hayati setiap ruku’, dan bersimpuhlah dalam sujud dengan kesadaran penuh bahwa kita adalah hamba yang sedang berbicara dengan Tuhannya.

 

Sholat yang benar akan menjadi cahaya dalam hidup. Ia menuntun langkah, menjernihkan hati, dan mendamaikan jiwa. Dan ketika sholat menjadi benar, hidup pun ikut tertata. Mungkin, itulah sebabnya orang-orang shalih dulu menjadikan sholat sebagai pusat hidup mereka, bukan sekadar pelengkap aktivitas.

 

Mari kita mulai dari sekarang. Jangan tunggu esok. Karena sholat yang carut-marut bisa menjadi tanda jiwa yang sedang hilang arah. Dan hanya dengan memperbaiki sholat, kita bisa kembali menemukan jalan pulang menuju Allah.