Saat Hati Menerima, Bahagia Pun Tiba: Indahnya Qona’ah

Di tengah gemuruh dunia yang tak henti menawarkan kesenangan baru, manusia terus berlari—mengejar yang lebih, membandingkan dengan yang lain, dan merasa belum cukup meski telah memiliki banyak. Hati pun menjadi sempit, jiwa tertekan, dan kebahagiaan seolah semakin menjauh. Namun, di balik kesibukan mengejar dunia, ada satu sikap yang sering terlupakan, padahal ia adalah pintu ketenangan: qona’ah.

 

Apa Itu Qona’ah?

Secara sederhana, qona’ah adalah sikap menerima dengan lapang dada terhadap apa yang Allah berikan, sembari tetap berusaha tanpa kerakusan. Ia bukan berarti pasrah buta atau malas berikhtiar, melainkan kemampuan untuk mensyukuri hasil dari usaha yang halal, tanpa iri pada apa yang dimiliki orang lain.

 

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sungguh beruntunglah orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan Allah menjadikannya merasa cukup dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan bahwa keberuntungan—bahkan kebahagiaan sejati—bukan pada banyaknya harta, tingginya jabatan, atau gemerlapnya pencapaian duniawi, tapi pada hati yang mampu menerima dan merasa cukup.

 

Qona’ah Membawa Bahagia

Hidup akan jauh lebih ringan jika kita memiliki qona’ah. Bayangkan seseorang yang penghasilannya tidak seberapa, namun ia mensyukurinya, membelanjakannya dengan bijak, dan tidak membandingkan dirinya dengan orang lain. Ia akan hidup dalam ketenangan dan kebahagiaan. Sebaliknya, orang yang terus merasa kurang, meski harta bertumpuk, akan selalu gelisah dan tidak pernah puas.

 

Qona’ah menjauhkan hati dari keserakahan yang membuat manusia rakus dan lupa diri. Ia juga menumbuhkan rasa syukur yang mendalam, karena setiap nikmat sekecil apa pun terasa besar di mata orang yang qona’ah.

 

Mengapa Kita Sulit Qona’ah?

Sikap qona’ah kerap sulit tumbuh karena beberapa hal:

  • Budaya konsumtif dan perbandingan sosial. Media sosial, misalnya, membuat kita mudah melihat hidup orang lain yang tampak lebih sempurna. Lalu kita mulai merasa kurang.
  • Standar kebahagiaan yang salah. Kita diajarkan bahwa bahagia adalah tentang memiliki banyak, padahal bahagia adalah tentang merasa cukup.
  • Lupa pada akhirat. Ketika dunia menjadi tujuan utama, maka kita akan selalu merasa kurang. Sebaliknya, jika akhirat menjadi tujuan, maka dunia akan menjadi sarana yang memadai, bukan sumber stres.

 

Cara Menumbuhkan Qona’ah

1. Perbanyak syukur. Lihat dan hitung nikmat yang sudah Allah berikan—dari udara yang kita hirup hingga kesempatan hidup hari ini.

2. Hindari banyak membandingkan. Setiap orang punya ujian dan nikmat masing-masing. Fokuslah pada apa yang kita miliki.

3. Ingat bahwa dunia hanyalah sementara. Rumah besar, mobil mewah, dan jabatan tinggi tidak akan dibawa ke liang lahat.

4. Perkuat iman dan tauhid. Yakinlah bahwa rezeki telah ditentukan oleh Allah dan tidak akan tertukar.

5. Sederhanakan keinginan. Kata orang bijak, “Orang kaya bukanlah dia yang memiliki banyak, tapi yang keinginannya sedikit.”

 

Qona’ah dalam Kehidupan Rasul dan Sahabat

Rasulullah ﷺ adalah contoh paling nyata dalam hal qona’ah. Meski beliau mampu hidup mewah jika mau, beliau memilih hidup sederhana. Pernah beberapa hari tidak ada makanan di rumah beliau, namun beliau tetap sabar dan bersyukur.

 

Begitu pula dengan para sahabat seperti Abu Dzar al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu, yang terkenal zuhud dan qona’ah. Ia berkata, “Aku lebih suka hidup miskin dan masuk surga, daripada hidup kaya dan terseret ke neraka.”

 

Saat Hati Menerima, Bahagia Pun Tiba

Qona’ah bukan sekadar sikap hidup, tetapi rahasia besar untuk meraih ketenangan batin. Ketika kita belajar menerima, maka kita sedang membuka pintu kebahagiaan. Dunia ini tidak pernah cukup bagi mereka yang hatinya kosong, namun dunia yang sederhana akan terasa penuh bagi mereka yang hatinya qona’ah.

 

Maka mari kita belajar merasa cukup—bukan karena kita tak ingin lebih, tapi karena kita yakin bahwa Allah selalu memberi yang terbaik, dan yang kita miliki hari ini adalah bagian dari karunia-Nya yang patut disyukuri.

“Barangsiapa yang bangun di pagi hari dalam keadaan aman di rumahnya, sehat jasadnya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan dunia telah dikumpulkan untuknya.” (HR. Tirmidzi)