Di antara kepastian hidup yang tak pernah luput, kematian adalah janji yang tak pernah diingkari. Ia tidak pernah menunggu kesiapan. Tidak peduli usia, status sosial, atau rencana-rencana duniawi yang belum rampung. Setiap jiwa, suatu hari nanti, akan sampai pada ujung perjalanan, ketika tubuh tak lagi bernyawa, dan ruh pun kembali kepada Sang Pencipta. Maka pertanyaannya bukan lagi “kapan” atau “bagaimana”, melainkan: “Apa bekal yang sudah kita siapkan sebelum pulang?”
Dunia: Persinggahan Sementara, Bukan Tempat Tinggal
Dunia sering meninabobokan kita. Dengan segala gemerlapnya, ia mampu melalaikan manusia dari tujuan utamanya. Kita sibuk mengumpulkan harta, memburu karier, mengejar status dan popularitas. Padahal semua itu akan kita tinggalkan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Jadilah engkau di dunia seakan-akan orang asing atau seorang musafir.” (HR. Bukhari)
Seorang musafir tidak akan membawa banyak hal dalam perjalanannya—hanya yang penting dan berguna untuk sampai ke tujuan. Maka begitulah seharusnya kita memandang kehidupan ini: bukan untuk ditimbun, tapi untuk dibekali. Karena hakikat hidup bukanlah menumpuk dunia, tapi mempersiapkan akhirat.
Bekal Terbaik: Hati yang Bertakwa dan Amal yang Ikhlas
Allah ﷻ berfirman:
“Dan berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197)
Takwa adalah inti dari semua bekal yang layak dibawa pulang. Ia adalah kompas yang membimbing langkah kita agar tidak melenceng dari jalan menuju ridha Allah. Takwa berarti kesadaran bahwa setiap langkah, kata, dan niat kita ada dalam pengawasan-Nya. Ia bukan sekadar rasa takut, tapi cinta dan kehati-hatian untuk tidak melanggar perintah-Nya.
Lalu bagaimana dengan amal? Amal adalah kendaraan yang membawa kita menuju surga, selama disertai keikhlasan dan sesuai tuntunan Rasulullah ﷺ. Bukan amal yang paling banyak yang diterima, tapi amal yang paling murni dan sesuai dengan sunnah. Shalat yang khusyuk, sedekah yang tulus, dzikir yang penuh rasa, air mata taubat yang menetes di keheningan malam—itulah mutiara-mutiara bekal yang akan menyala dalam kegelapan kubur.
Saat Penyesalan Tak Lagi Berguna
Al-Qur’an menggambarkan banyak sekali penyesalan orang-orang yang lalai ketika kematian telah datang:
“Ya , Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat berbuat amal saleh yang telah aku tinggalkan.” (QS. Al-Mu’minun: 99-100)
Namun pintu itu telah tertutup. Kesempatan itu telah sirna. Maka selagi ruh masih bersatu dengan jasad, selagi kita masih bisa mendengar azan dan menyentuh mushaf, masih ada waktu untuk membenahi. Mulailah dari hal kecil: menjaga shalat lima waktu, memperbanyak istighfar, memperbaiki niat, bersedekah meski hanya seribu rupiah, menahan lisan dari menyakiti, menebar manfaat di mana pun berada.
Pulang Dengan Tersenyum
Bayangkan kelak, ketika kita dipanggil oleh Allah, kita pulang bukan dalam ketakutan, tapi dalam ketenangan. Seperti yang difirmankan oleh Allah ﷻ kepada jiwa yang tenang:
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27–30)
Sungguh, itulah puncak dari semua cita-cita hidup. Kembali kepada Allah dengan selamat. Pulang membawa bekal yang cukup, bukan hanya dalam bentuk amal, tetapi hati yang lembut, lisan yang bersih, dan kehidupan yang tidak disia-siakan.