Jurangmangu, 14 Mei 2025 — Siang itu, langit Jurangmangu berwarna teduh, seolah ikut menyambut kehadiran sebuah gelombang kepedulian yang datang membawa harapan. Di Kampung Pemulung yang biasanya senyap dan terabaikan, hari itu berubah menjadi oase hangat penuh senyum dan tawa. Aroma bakso mengepul dari panci-panci besar, tangan-tangan kecil meraih mangkuk dengan mata berbinar, dan suara takbir serta doa-doa syukur menggema bersahut-sahutan. Itulah momen yang dihadirkan oleh gerakan kolaboratif antara Tim Langkah Amanah dan Lazio: program Sedekah Makan dan Amanah Cendekia.
Bukan sekadar kegiatan amal, ini adalah napas kasih sayang yang menembus batas-batas statistik kemiskinan dan data-data kering tentang ketimpangan. Ini adalah wujud cinta dalam bentuk paling nyata—sentuhan manusia kepada manusia lain, yang mungkin selama ini berjalan dalam bayang-bayang kehidupan kota yang keras dan penuh ketergesaan.
Lebih dari seribu porsi bakso hangat dibagikan kepada masyarakat sekitar. Para pemulung, pedagang kecil, buruh harian, anak-anak dari keluarga prasejahtera, hingga para lansia yang sudah tak kuat lagi bekerja—semuanya menerima sepiring kehangatan. Namun, lebih dari sekadar makanan, yang mereka terima hari itu adalah pengakuan akan keberadaan mereka. Bahwa mereka tidak dilupakan. Bahwa di tengah hingar-bingar dunia, masih ada yang peduli, masih ada yang mau berhenti sejenak untuk memeluk mereka dengan kasih sayang.
Setiap senyuman yang terukir di wajah anak-anak dan orang tua hari itu adalah potongan kecil dari mozaik besar tentang kemanusiaan. Seorang anak laki-laki, mengenakan baju sekolah yang lusuh, memeluk erat paket pendidikannya sambil berkata, “Aku ingin jadi guru, biar bisa bantu orang juga.” Ucapan polos itu, mungkin terdengar sederhana, namun di sanalah letak kekuatan gerakan ini—menghidupkan harapan di tempat yang selama ini nyaris padam.
Paket pendidikan yang dibagikan bukan hanya berupa alat tulis dan buku, tetapi juga semangat baru. Di dalamnya tersimpan pesan bahwa belajar adalah hak semua anak, tak peduli di mana mereka lahir atau seberapa sempit ruang belajar mereka. Langkah Amanah dan Lazio paham bahwa perubahan tak selalu datang dari hal besar—ia bisa dimulai dari satu pensil, satu buku, satu anak yang percaya bahwa masa depan layak diperjuangkan.
Perwakilan Tim Langkah Amanah menyampaikan dengan rendah hati,
“Kami tidak membawa banyak. Hanya sedikit dari apa yang kami punya. Tapi kami yakin, ketika yang sedikit itu dibagikan dengan cinta, ia bisa berarti sangat besar bagi yang menerimanya. Karena setiap manusia, siapapun dia, berhak merasakan hangatnya kebahagiaan dan harapan.”
Kegiatan ini memang hanya berlangsung satu hari, namun dampaknya tak akan selesai dalam sehari. Ada benih kebaikan yang ditanam, yang entah kapan akan tumbuh dan berbuah, tapi pasti tak akan hilang. Barangkali dari anak-anak yang hari itu menerima paket pendidikan, akan lahir pemimpin masa depan yang mengerti arti berbagi. Barangkali dari pelukan tulus dan makanan hangat itu, akan tumbuh rasa percaya bahwa dunia ini masih punya ruang untuk harapan.
Di tengah dunia yang kerap dipenuhi berita negatif dan pesimisme sosial, inisiatif seperti ini menjadi pengingat bahwa kemanusiaan belum mati. Masih ada orang-orang yang bergerak dalam diam, menebar cahaya di tempat-tempat yang gelap. Masih ada mereka yang percaya bahwa satu senyuman bisa mengubah hati seseorang, dan satu tindakan kecil bisa memicu gelombang besar perubahan.
Akhirnya, Sedekah Makan dan Amanah Cendekia bukan sekadar program bantuan. Ia adalah narasi kemanusiaan yang ditulis dengan hati, diukir dengan kepedulian, dan dibacakan lewat tindakan nyata. Ia mengajarkan kita bahwa kebaikan tak harus menunggu besar, tak harus menunggu kaya. Cukup mulai dari apa yang ada di tangan, dan niat yang tulus di hati.
Dan hari itu, di Jurangmangu, kita semua belajar satu hal: bahwa dalam dunia yang serba cepat ini, ada saat-saat dimana berhenti sejenak untuk memberi, justru menjadi cara terbaik untuk berjalan lebih jauh bersama.