Untuk Apa Kita Hidup? Sebuah Renungan di Tengah Hiruk Pikuk Dunia

Di tengah gemuruh dunia yang semakin bising dengan ambisi, tuntutan, dan hiruk pikuk kesibukan, ada satu pertanyaan hakiki yang kerap terabaikan: “Untuk apa kita hidup?” Pertanyaan sederhana ini sejatinya telah menggugah hati para pencari kebenaran sejak zaman para nabi hingga manusia modern kini. Namun ironisnya, di era digital ini — saat segala informasi mudah diakses — justru makna hidup terasa semakin kabur di tengah kecepatan arus dunia.

 

Tak jarang manusia bangun pagi dengan rutinitas yang sama: bekerja, belajar, mengejar target duniawi, membangun popularitas di media sosial, menumpuk harta, atau sekadar memenuhi ekspektasi orang lain. Saat malam menjelang, tubuh lelah, pikiran kosong, dan hati terasa hampa — seolah semua pencapaian hari itu belum cukup mengisi kekosongan batin yang dalam. Lalu muncul bisikan dari nurani yang jujur: “Apakah hanya ini tujuan aku diciptakan?

 

Al-Qur’an Menjawab: Hidup Adalah Ibadah

Allah Ta’ala dalam firman-Nya yang agung menegaskan:

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Ayat ini begitu lugas mengabarkan bahwa tujuan utama eksistensi manusia di muka bumi adalah untuk beribadah kepada Allah. Bukan sekadar shalat dan puasa dalam pengertian sempit, melainkan mencakup seluruh dimensi kehidupan: bekerja, belajar, berkeluarga, bermasyarakat, bahkan beristirahat pun bisa bernilai ibadah jika diniatkan dengan benar.

 

Manusia bukan makhluk yang hidup untuk memenuhi syahwat dan nafsu semata, sebagaimana binatang yang makan, minum, lalu mati. Manusia adalah makhluk mulia yang dianugerahi akal untuk mengenal Rabb-nya, hati untuk mencintai-Nya, dan jiwa untuk tunduk pada aturan-Nya. Inilah misi utama manusia di bumi: menjadi hamba Allah yang sejati.

 

Rasulullah Memberi Teladan

Kehidupan Rasulullah ﷺ adalah manifestasi nyata dari ayat di atas. Beliau tidak pernah melalaikan tujuan hidupnya, meskipun beliau harus menghadapi derita, ancaman, kelaparan, bahkan peperangan. Di tengah kesibukan sebagai pemimpin negara, suami, ayah, da’i, dan panglima, beliau tetap senantiasa menjaga ibadahnya. Shalat malam tidak pernah beliau tinggalkan, meski kakinya bengkak karena lama berdiri. Saat ditanya mengapa beliau begitu bersungguh-sungguh, padahal dosanya telah diampuni, beliau menjawab penuh kesadaran:

Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jawaban ini seakan menampar kita yang sering lalai dari tujuan utama penciptaan: mengabdi dan bersyukur kepada Allah.

 

Dunia: Ladang Ujian, Bukan Tempat Tujuan

Sayangnya, banyak manusia tertipu oleh gemerlap dunia. Jabatan, kekayaan, popularitas — semua terlihat indah, padahal hanya fatamorgana yang kelak akan sirna. Rasulullah ﷺ pernah menggambarkan perbandingan dunia dan akhirat dalam sabdanya:

Demi Allah, dunia dibandingkan akhirat laksana seseorang mencelupkan jarinya ke laut, lihatlah berapa banyak air yang tersisa di jarinya itu.” (HR. Muslim)

Begitu kecil dunia ini dibandingkan kekekalan akhirat. Dunia hanyalah tempat persinggahan, bukan kampung halaman. Maka sungguh merugi siapa saja yang menjadikan dunia sebagai tujuan hidup, bukan sebagai jalan menuju ridha Allah.

 

Hidup Mulia dengan Tujuan Abadi

Mereka yang mengerti makna hidup akan menapaki hari-hari mereka dengan penuh kesadaran. Pagi bukan sekadar waktu mengejar gaji, melainkan awal dari jihad menunaikan amanah Ilahi. Siang bukan hanya waktu mencari rezeki, melainkan kesempatan menebar kebaikan. Malam bukan waktu untuk melarikan diri dari lelah dunia, melainkan waktu memperbaiki hubungan dengan Sang Pencipta lewat dzikir dan munajat.

 

Betapa indahnya hidup orang yang tahu untuk apa ia diciptakan. Ia tidak mudah putus asa saat gagal, karena tahu bahwa nilai hidupnya bukan diukur dari harta atau jabatan, tetapi dari amal dan ketakwaan. Ia tidak sombong saat berhasil, karena sadar bahwa semua hanyalah titipan yang akan ditanya kelak di hari pembalasan.

 

Saatnya Kembali Menjawab Pertanyaan Besar Itu

Saudaraku, dimanapun engkau berada, bagaimanapun status sosialmu, pertanyaan besar ini tetap berlaku untuk semua manusia: “Untuk apa kita hidup?” Jangan biarkan jawaban itu ditentukan oleh media, budaya, atau nafsu. Carilah jawabannya di dalam Al-Qur’an, hadits Nabi, dan bisikan fitrah suci dalam hati.

 

Jawabannya sudah Allah kabarkan: “Untuk beribadah kepada-Nya.

Bukan hanya di masjid, bukan hanya di atas sajadah, tapi dalam setiap nafas, langkah, keputusan, perjuangan, bahkan dalam istirahat dan senyum kepada sesama.

 

Maka, sebelum ajal datang menjemput, mari kita perjelas kembali peta hidup ini. Agar setiap detik bernilai di sisi Allah, agar setiap usaha berbuah pahala abadi, agar hidup ini tak sia-sia — menjadi perjalanan menuju surga yang kekal.

Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan tidak mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Semoga kita termasuk hamba yang tahu untuk apa kita hidup — dan menjalaninya dengan penuh makna.